Ahmad Boestamam
Abdullah Thani bin Raja Kechil atau Ahmad Boestamam (30 November 1920 – 19 Januari 1983) adalah seorang aktivis politik anti kolonial Inggris di Malaysia.
Ahmad Boestamam | |
---|---|
Anggota Parlemen dapil Setapak, Selangor | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Behrang Ulu, Perak, Malaysia |
Sunting kotak info • L • B |
Ia menggunakan nama Ahmad Boestamam sebagai nama pena ketika mendirikan koran Suara Rakyat pada tahun 1945 di Ipoh, Perak. Nama ini lekat sebagai nama yang populer. Ia juga pernah menggunakan nama pena Ruhi Hayat dan Jiwalara. Ia berbakat besar dalam penulisan dan seorang pembicara yang handal. Ia di anugerahkan Panglima Negara Bintang Sarawak pada tahun 1976 dengan gelar Datuk.
Masa kecil
suntingAhmad Boestamam lahir dari pasangan Raja Kechil dan Rasiah. Orang tuanya merupakan petani yang bermigrasi dari Tanah Datar, Sumatera Barat.[1] Ia mempunyai dua orang kakak, yaitu Rasunin dan Ramlah. Pada usia enam tahun, dia memasuki Sekolah Melayu di Behrang Ulu. Setelah itu melanjutkan ke Anderson School di Ipoh.
Wartawan
suntingSeperti kebanyakan para aktivis politik yang sezaman dengannya, Boestamam merupakan seorang wartawan surat kabar yang sangat prolifik. Karier kewartawanannya bermula pada surat kabar Saudara di Pulau Pinang, kemudian Warta Kinta di Ipoh, Majlis di Kuala Lumpur, Utusan Melayu di Singapura dan Warta Malaya juga di Singapura. Pekerjaannya itu juga menjadikannya bergaul dengan tokoh-tokoh wartawan Melayu lainnya seperti Abdul Rahim Kajai, Ibrahim Yaakob, dan Ishak Haji Muhammad.
Kegiatan Boestamam dalam bidang kewartawanan ini telah menyebabkannya terlibat dalam arus nasionalisme Melayu yang sedang memuncak pada tahun 1930-an. Dalam tulisannya, ia banyak mengupas mengenai masalah kelemahan ekonomi, sosial, dan politik orang Melayu.
Aktivis Politik
suntingKeterlibatan Boestamam dalam kegiatan politik bermula di Kesatuan Melayu Muda (KMM), ketika ia menjadi asisten sekretaris dalam surat kabar Majlis di Kuala Lumpur. Di organisasi ini Boestamam dianggap sebagai seorang aktivis politik anti-penjajahan yang cukup berbahaya. Pada tahun 1941-1942, bersama dengan 150 orang anggota dan pendukung KMM lainnya, ia ditangkap pemerintah kolonial. Dia dibebaskan oleh tentara Jepang yang datang menyerang Semenanjung Melayu.
Ia menerbitkan testamen politik Api yang mengajukan gagasan "merdeka dengan darah." Karena karyanya tersebut, ia disidang atas tuduhan menghasut dan dikenakan denda sebesar $ 1.200
Boestamam seorang perancang politik yang cerdas. Dia mendirikan Gerakan Kiri Tanah Air (KITA) yang bekerjasama dengan Parti Komunis Malaya (PKM) dan Inggris yang sedang berusaha memerangi tentara Jepang.
Boestamam kemudian mendirikan Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM).[2] Dalam persidangan yang diadakan pada tanggal 30 November 1945, dinyatakan bahwa pembentukan "Melayu Raya" atau Indonesia Raya telah dimasukkan sebagai salah satu maklumat perjuangan PKMM.
Pada Februari 1946, ketika semangat menuntut kemerdekaan sedang meluap-luap, Boestamam bersama Burhanuddin al-Hilmi mendirikan "Angkatan Pemuda Insaf" (API), sebuah pergerakan kiri yang radikal. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial Inggris.
Penangkapan Boestamam pada bulan Juli 1948-1954, membekukan seluruh kegiatan politiknya. Ia terpaksa ditahan begitu lama karena membahayakan kepentingan politik Inggris di Tanah Melayu dan kawasan sekitarnya.
Pada tahun 1955, ia mendirikan Parti Rakyat Malaya.[3] Bekerjasama dengan Parti Buruh Malaya, ia membentuk "Socialist Front" (SF) yang akhirnya menjadi salah satu partai pembangkang yang terkenal selepas kemerdekaan Malaysia.
Pada tahun 1959, Boestamam menjabat sebagai anggota parlemen dari wilayah Setapak, Kuala Lumpur mewakili "Socialist Front". Dengan itu, ia telah menjadi salah seorang anggota pembangkang yang disegani, bersama dengan tokoh nasionalis dan politik Melayu lainnya, seperti Dato' Onn Jaafar, Burhanuddin al-Hilmi, Khatijah Sidek, Zulkifli Mohammad, dan Othman Abdullah.
Pada tahun 1963, Boestamam kembali ditangkap dengan tuduhan bekerjasama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut mengganyang pemerintah Malaysia, serta terlibat dalam Pemberontakan Brunei tahun 1962. Tuduhan ini sangat menarik, karena menimbulkan gambaran bahwa Boestamam merupakan seorang pendukung politik Indonesia Raya, yang menginginkan seluruh Kepulauan Melayu bersatu.
Karya
suntingSelain giat dalam dunia politik, Boestamam juga menghasilkan sekurang-kurangnya 15 buah novel.
- Pacar Merah Malaya, Singapura: Halmy (1948)
- Gelap Menjelang Terang, Singapura: Geliga (1956)
- Kabus Pagi, Singapura: Geliga (1958)
- Api dan Air Mata (1967)
- Rumah Kaca di Gegar Gempa (1969)
- Merintis Jalan ke Puncak (1971), terbitan Pustaka Kejora, Kuala Lumpur
- Dr. Burhanuddin Putera Setia Malaya (1972), terbitan Pustaka 17 Kejora, Kuala Lumpur
- Tujuh Tahun Malam Memanjang (1976)
- Sorotan Sekilas, The Malay Dilemma (1981)
- Lambaian Dari Puncak (1983)
- Testamen Politik API
Referensi
sunting- ^ Ahmad Boestamam, Keturunan Minang Pendiri Partai Marhaen Malaysia
- ^ Timothy Norman Harper, The End of Empire and the Making of Malaya, Cambridge University Press, 1999
- ^ Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran, Gema Insani Press, 1997