Bidat menurut Gereja Katolik

Gereja Katolik mendefinisikan bidat sebagai "penyangkalan mendegil atau penyangsian mendegil, sesudah memerima sakramen pembaptisan, terhadap beberapa kebenaran yang seyogianya diimani dengan iman yang ilahi dan Katolik".[1] Istilah bidat digunakan untuk menyifatkan keyakinan itu sendiri maupun sikap terhadap keyakinan tersebut.[2]

Definisi dan sifat khas

sunting

Definisi

sunting

Di dalam Gereja Katolik, bidat memiliki arti khusus bilamana digunakan untuk menyifatkan keyakinan seseorang. Seseorang dapat disebut sebagai ahli-bidat formal jika:[3]

  1. Sudah menerima baptisan Kristen yang sahih
  2. Masih mengaku Kristen
  3. Secara terbuka dan degil menyangkal, atau secara positif menyangsikan, kebenaran yang dipandang oleh Gereja Katolik sebagai pewahyuan dari Allah (melalui Kitab Suci atau Tradisi Suci)
  4. Ketidakberimanannya harus dapat dipersalahkan secara moral, yakni harus ada unsur ketidaksudian untuk menerima hal yang dimafhumi sebagai suatu keharusan doktrinal.

Oleh sebab itu, untuk menjadi ahli-bidat, dan oleh sebab itu kehilangan persekutuan dengan Gereja Katolik sehingga bukan lagi Katolik, seseorang haruslah menyangkal atau menyangsikan suatu kebenaran yang diajarkan oleh Gereja katolik sebagai pewahyuan dari Allah, dan pada saat yang sama mengetahui bahwa Gereja Katolik mengajarkannya. Meskipun demikian, jika seseorang menyangkal atau menyangsikan suatu doktrin, tetapi dengan iktikad baik, maka orang itu tidak dianggap sebagai seorang ahli-bidat formal oleh Gereja Katolik, kendati tindakannya merupakan ungkapan bidat material.[3]

Kanon 751 dari Kitab Hukum Kanonik Gereja Latin yang dipromulgasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1983 mendefinisikan bidat sebagai berikut: "Bidat adalah penyangkalan atau penyangsian mendegil, sesudah menerima sakramen pembaptisan, terhadap beberapa kebenaran yang seyogianya diimani dengan iman yang ilahi dan Katolik". Bidat dibedakan dari kemurtadan, yakni "penolakan total terhadap iman Kristen", maupun dari skisma, yakni "ketidaksudian untuk tunduk kepada Pontif Tertinggi atau untuk bersekutu dengan warga Gereja yang tunduk kepada Pontif Tertinggi".[4] Definisi dan pembedaan ini ditegaskan kembali di dalam Katekismus Gereja Katolik. Katekismus juga membedakan bidat dari inkredulitas, yaitu "pencuaian kebenaran terwahyu atau ketidaksudian yang disengaja untuk mengamininya".[5]

Bidat formal dan bidat material

sunting

Gereja Katolik membedakan antara bidat formal dan bidat material. Bedanya adalah disposisi subjektif ahli-bidat terhadap pendiriannya.[2]

Ahli-bidat yang sadar bahwa keyakinannya bertentangan dengan ajaran Katolik, tetapi dengan penuh kerelaan dan atas kemauan sendiri bersikeras untuk tetap berpegang teguh kepada keyakinannya,[2] "yang memungkiri suatu kebenaran penting lantaran ketidaktahuan teratasi atau lantaran kekeliruan yang dipegang teguh dengan iktikad buruk atau tidak jelas",[6] adalah seorang ahli-bidat formal. Bidat formal merupakan perbuatan dosa, karena ahli-bidat dengan rela dan sadar menganut suatu pendirian yang, menyitir Catholic Encyclopedia, "merusak keluhuran iman Kristen [...] merongrong persatuan, dan menantang kewibawaan ilahi Gereja" serta "menyerang sumber iman itu sendiri".[2]

Bidat material mengacu kepada suatu pendirian yang secara objektif bertentangan dengan ajaran-ajaran Gereja, dan oleh sebab itu adalah bidat, tetapi diutarakan oleh orang yang tidak tahu bahwa keyakinan itu adalah bidat. Dengan demikian, orang yang menganut suatu bidat material mungkin saja bukan seorang ahli-bidat dalam arti sempit.[7] Bidat material adalah pendirian yang dengan mengantepinya seseorang "memungkiri kebenaran yang harus dipegang teguh dengan iman yang ilahi dan Katolik, akan tetapi orang itu melakukannya lantaran ketidaktahuan tak teratasi atau lantaran suatu kekeliruan yang dipegang teguh dengan iktikad baik. Iktikad baik di dalam diri orang yang keliru adalah cara yang bijak untuk menilai apakah orang yang keliru itu mengira dirinya tidak keliru dan justru dialah yang benar".[6] Pendirian bidat material mungkin saja melahirkan hasil-hasil objektif yang sama dengan bidat formal, tetapi ahli-bidat tidak berdosa dengan memegang teguh pendirian tersebut.[2]

Bidat termanifestasi, bidat terselubung, bidat publik, dan bidat privat

sunting

Gereja Katolik membedakan antara ahli-bidat termanifestasi, ahli-bidat terselubung, ahli-bidat publik, dan ahli-bidat privat:[8][note 1]

Ahli-bidat termanifestasi adalah orang yang kekeliruan atau kesangsiannya dalam keimanan tidak dapat disembunyikan dengan alasan apapun juga, sedangkan ahli-bidat terselubung adalah orang yang kekeliruan atau kesangsiannya dalam keimanan masih cukup tersembunyi.
Ahli-bidat publik adalah orang yang terang-terangan melekat kepada beberapa sempalan bidat, sedangkan ahli-bidat privat adalah orang yang tidak terang-terangan melekat dengan sempalan bidat manapun.

Kewargagerejaan

sunting

Robertus Bellarminus dan sebagian besar teolog Katolik modern (misalnya Palmieri, Billot, Straub [de], dan Mersch [Wikidata]) berpandangan bahwa ahli-bidat terselubung "masih menjadi warga Gereja, sebab kehilangan kewargagerejaan, sama seperti pemerolehan kewargagerejaan, mengingat kekasatmataan Gereja, hanya dihasilkan dari fakta-fakta lahiriah yang dapat dipastikan secara legal"; Ludwig Ott menganggap pandangan ini "lebih andal".[10]

menurut Ludwig Ott, andaikata hanya bidat secara material, ahli-bidat termanifestasi bukanlah bagian dari Gereja Katolik. Ia menambahkan bahwa ahli-bidat material termanifestasi "bukanlah bagian dari tubuh Gereja, yakni persemakmuran legal Gereja. Meskipun demikian, kenyataan ini tidak menghalangi mereka untuk menjadi bagian secara rohani dari Gereja melalui karsa mereka untuk menjadi bagian dari Gereja (votum Ecclesiae) dan dengan jalan ini beroleh pembenaran serta keselamatan".[10]

Salaverri dan Nicolau menyajikan ringkasan pendirian-pendirian teologi berikut ini:[11]

Pandangan bahwa ahli-bidat formal dan termanifestasi bukan bagian dari tubuh Gereja, dapat dikatakan sebagai pendirian seluruh umat Katolik.

a) Pandangan bahwa ahli-bidat formal, tetapi terselubung, bukan warga Gereja, dipertahankan oleh beberapa penulis, misalnya Suárez, Molina, Billuart [fr], Franzelin, Michelitsch [Wikidata], Stolz, Fraghi [it], Journet, Zapelena [Wikidata], dan lain-lain, tetapi pandangan sebaliknyalah yang lebih umum.

b) Pandangan bahwa ahli-bidat material belaka, sekalipun termanifestasi, adalah warga Gereja, diusung oleh Franzelin, De Groot [nl], D'Herbigny, Caperan [Wikidata], Terrien, dan lain-lain, tetapi pandangan sebaliknyalah yang lebih umum.

Menurut Salaverri dan Nicolau, ahli-bidat material (sekalipun termanifestasi) dan ahli-bidat terselubung masih terbilang warga Gereja Katolik.[12]

Tingkat

sunting

Menurut Catholic Encyclopedia, Gereja Katolik mengenal empat tingkat bidat, yaitu:[2]

  1. Kemelekatan mendegil kepada suatu doktrin yang bertentangan dengan pokok pikiran iman yang didefinisikan secara gamblang oleh Gereja Katolik adalah bidat wantah dan murni, bidat tingkat satu
  2. Jika suatu doktrin belum didefinisikan secara jelas, atau tidak dikemukakan secara jelas sebagai pokok keimanan di dalam ajaran biasa dan terizinkan Gereja Katolik, maka pendirian yang bertentangannya disifatkan sebagai sententia haeresi proxima, yakni pendirian yang mendekati bidat
  3. Selanjutnya, proposisi doktrinal, tanpa bertentangan secara langsung dengan suatu dogma yang berterima, mungkin saja akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis yang tidak selaras dengan kebenaran terwahyu. Proposisi doktrinal semacam itu bukan bidat, melainkan sekadar propositio theologice erronea, yakni kekeliruan dalam teologi
  4. Yang terakhir, penentangan terhadap suatu pokok keimanan mungkin saja tidak dapat betul-betul diperlihatkan, tetapi hanya sampai pada taraf probabilitas tertentu. Dalam kasus semacam itu, doktrinnya diistilahkan sebagai sententia de haeresi suspecta, haeresim sapiens (ahli-bidat keilmuan), yakni pendirian yang dicurigai atau berbau bidat

Ada pula klasifikasi-klasifikasi penilaian teologis lainnya.

sejarah

sunting
 
Ilustrasi dari tahun 1711 untuk Index Librorum Prohibitorum ini menggambarkan Roh Kudus menurun api yang membakar tumpukan kitab

Pada abad ke-13, Tomas Aquinas mendefinisikan bidat sebagai "sejenis kekufuran di dalam diri insan, yang sudah menyatakan keimanan kepada Kristus, tetapi merusak dogma-dogma keimanan itu". Tomas Aquinas lebih lanjut mengemukakan bahwa:[2]

Iman Kristen yang benar berunsurkan pemberian persetujuan sukarela seseorang kepada Kristus dalam segala sesuatu yang benar-benar merupakan bagian dari ajaran-Nya. Oleh sebab itu, ada dua jalan untuk menyimpang dari Kekristenan: jalan yang satu adalah dengan tidak sudi beriman kepada Kristus itu sendiri, yaitu jalan kekufuran, yang lazim bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah dan orang-orang Yahudi; jalan yang lain adalah dengan membatasi keimanan pada perkara-perkara tertentu dari doktrin Kristus yang dipilih dan diubah suai sesuka hati, yaitu jalan para ahli-bidat. Dengan demikian, materi-subjek dari iman maupun bidat adalah khazanah iman, yaitu seluruh kebenaran yang diwahyukan di dalam Kitab Suci dan Tradisi yang dikemukakan Gereja kepada kita untuk diimani. Orang beriman menerima keseluruhan khazanah iman yang dikemukakan Gereja; ahli bidat hanya menerima bagian-bagian tertentu dari khazanah iman yang disetujuinya sendiri.

Ketika masih menjadi seorang imam Katolik, Martin Luther mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kemudian hari diikhtisarkan di dalam bula Exsurge Domine tahun 1520 dengan kalimat "haereticos comburi est contra voluntatem Spiritus" (membakar ahli bidat bertentangan dengan Roh"). Kalimat ini merupakan salah satu di antara pernyataan-pernyataan yang dikecam secara khusus di dalam bula tersebut.[13][14] Lantaran tidak menerima bula tersebut maupun menarik kembali tulisan-tulisannya, Martin Luther diekskomunikasi di dalam bula Decet Romanum Pontificem tahun 1521.

Yansenisme adalah gerakan teologis awal zaman modern yang populer di Pancis pada pertengahan abad ke-17. Yansenisme berpendirian bahwa hanya sekalangan tertentu umat manusia yang sejak semula ditentukan untuk selamat. Dari kacamata doktrin Gereja Katolik, unsur bidatnya adalah penyangkalan peran kehendak bebas dalam penerimaan dan pemanfaatan rahmat.

Kasus terakhir hukuman mati terhadap ahli-bidat adalah hukuman mati terhadap guru-midras Cayetano Ripoll, yang diputuskan bersalah menganut paham deisme oleh Inkuisisi Spanyol dan dihukum gantung pada tanggal 26 Juli 1826 di Valencia sesudah dua tahun menjalani proses pengadilan.[15]

Tanggapan Gereja Katolik modern terhadap Protestantisme

sunting

Doktrin-doktrin Protestantisme yang dianggap bidat oleh Gereja Katolik adalah sola scriptura, sola fide, imamat am orang percaya, dan penyangkalan transubstansiasi.[16]

Di dalam bukunya, The Meaning of Christian Brotherhood, Kardinal Ratzinger mengemukakan sebagai berikut:

Kesukaran dalam cara memberi jawaban sangatlah besar. Kesukaran tersebut pada dasarnya berangkat dari fakta bahwa tidak ada kategori yang tepat di dalam fikrah Katolik bagi fenomena Protestantisme dewasa ini (orang dapat pula mengatakan hal yang sama untuk menyifatkan relasi dengan Gereja-Gereja Timur yang terpisah). Jelas-jelas kategori lawas 'bidat' tidak lagi dapat dipakai. Bidat, menurut Kitab Suci dan dan Gereja perdana, mengandung gagasan tentang keputusan pribadi yang melawan kesatuan Gereja, dan karakteristik bidat ialah pertinacia, yaitu kedegilan orang yang berkanjang di jalan pribadinya sendiri. Meskipun demikian, pertinancia tidak dapat dianggap sebagai penyifatan yang tepat untuk situasi spiritual Kristen Protestan. Seiring perjalanan sejarah yang kini terhitung sudah berabad-abad lamanya, Protestantisme sudah memberi suatu sumbangsih penting kepada realisasi iman Kristen, menggenapi suatu fungsi positif di dalam pengembangan pesan Kristen, dan di atas segala-galanya acap kali menumbuhkan iman yang tulus dan mendalam di sanubari orang pribadi Kristen non-Katolik, yang keterpisahannya dari afirmasi Katolik tidak ada sangkut-pautnya dengan karakteristik pertinacia bidat. Dalam hal ini kita mungkin dapat membalikkan kalimat Santo Agustinus bahwa skisma yang berlarut-larut menjadi bidat. Perjalanan waktu itu sendiri mengubah karakter suatu perpecahan, sehingga sebuah perpecahan lawas adalah sesuatu yang pada hakikatnya berbeda dari sebuah perpecahan baru. Sesuatu yang pernah dengan semestinya dikutuk sebagai bidat kemudian hari tidak dapat begitu saja menjadi benar, tetapi dapat berangsur-angsur mengembangkan sifat gerejawi positifnya sendiri, yang dengannya kepada orang pribadi diperkenalkan sebagai gerejanya, dan yang di dalamnya ia hidup sebagai orang beriman, bukan sebagai seorang ahli-bidat. Meskipun demikian, organisasi satu kelompok ini pada akhirnya berdampak pada keseluruhan. Mau tidak mau harus disimpulkan bahwa Protestantisme dewasa ini adalah sesuatu yang lain dari bidat dalam arti tradisionalnya, suatu fenomena yang belum ditentukan tempat teologisnya yang benar.[17]

Baca juga

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ Terminologi yang dipakai bisa saja bervariasi tergantung penulisnya.[9]

Rujukan

sunting
  1. ^ "Code of Canon Law, Canon 751". Diarsipkan dari versi asli tanggal 08 Maret 2023. Diakses tanggal 22 Januari 2023. 
  2. ^ a b c d e f g "Heresy". Catholic Encyclopedia. New Advent. 1912. Diakses tanggal 6 Maret 2017.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  3. ^ a b "Dictionary : HERESY". www.catholicculture.org. Diakses tanggal 2023-01-22. 
  4. ^ "Code of Canon Law - Book III - The teaching function of the Church (Cann. 747-755)". www.vatican.va. Diakses tanggal 22 Januari 2023. 
  5. ^ (Inggris) CCC, 2089, Vatican.va 
  6. ^ a b Salaverri, Joachim; Nicolau, Michaele (2015). "Book III — Chapter I – Article III – Thesis 26 - §1047". Sacrae Theologiae Summa (dalam bahasa Inggris). IB: On the Church of Christ ; On Holy Scripture. Diterjemahkan oleh Baker, Kenneth. Ramsey, New Jersey: Keep the Faith. hlm. 422. ISBN 978-0-9912268-7-0. OCLC 942788647. 
  7. ^ Oderberg, David S. (2011). "heresies". Dalam Kurian, George T. The Encyclopedia of Christian Civilization. 1. Malden: Wiley-Blackwell. hlm. 1119. doi:10.1002/9780470670606.wbecc0652. ISBN 9781405157629. Karena bidat merupakan suatu pilihan, unsur iktikad sangat menentukan kebersalahannya. Para teolog pada umumnya membedakan antara bidat 'formal' dan bidat 'material'. Pembedanya adalah materi bidatnya, yaitu ujaran yang mengungkapkan suatu proposisi yang nyata-nyata bertentangan dengan suatu dogma, dan unsur formalnya, yaitu pengutaraan proposisi itu dengan kesadaran penuh bahwa proposisi tersebut bertentangan dengan iman, dan bahwa Gereja telah mengemukakan pendirian yang sebaliknya sebagai dogma. Dengan demikian, orang tak berpendidikan teologi yang memungkiri, sebut saja ajaran bahwa Maria Diangkat ke Surga (didefinisikan pada tahun 1950), tanpa tahu bahwa ajaran tersebut adalah sebuah dogma, sudah mengutarakan materi bidat, tetapi sama sekali bukan seorang ahli-bidat dalam arti sempit. Jika ditunjukkan kepadanya bahwa Maria Diangkat ke Surga adalah sebuah dogma, dan ia tetap memungkirinya, sekalipun bukti yang ditunjukkan kepadanya sudah jelas, maka dia sudah melakukan perbuatan bidat formal, yaitu bidat dalam arti sempit. Malah jika seseorang meragukan suatu bukti yang ditunjukkan kepadanya sebagai bukti adanya suatu dogma, sepanjang kaidah imannya adalah mengimani apa saja yang diajarkan Gereja, maka ia tidak dapat disebut ahli-bidat, bahkan jika ia memungkiri sebuah proposisi de fide. Dengan kata lain, orang tidak harus berpendidikan teologi ataupun melek teologi untuk menghindari bidat. Petani biasa sekalipun, seperti yang suka dikemukakan oleh para teolog, dapat beriman dan mengindari segala bidat cukup dengan memiliki disposisi batiniah, tidak dibentur kebiasaan lahiriah, untuk mengimani apa saja yang diajarkan Gereja. Oleh sebab itu istilah 'bidat material' serupa dengan istilah 'bebek karet': ahli-bidat material bukanlah seorang ahli-bidat, ia hanya bertanggung jawab atas tindakan mengeluarkan pernyataan yang isinya bertentangan secara objektif dengan iman. Selain itu, hukum kanon mewajibkan adanya pertinacia, yaitu ketidaksudian mendegil untuk menerima ajaran Gereja, bukan sekadar pemungkiran atau pengungkapan kesangsian sekali-lalu. Kewajiban ini mengikuti amanat Santo Paulus di dalam suratnya kepada Titus (Titus 3:10–11): 'Seorang bidat [haereti'kon] yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi. Engkau tahu bahwa orang yang semacam itu benar-benar sesat dan dengan dosanya menghukum dirinya sendiri.' 
  8. ^ Salaverri, Joachim; Nicolau, Michaele (2015). "Book III — Chapter I – Article III - §1047". Sacrae Theologiae Summa (dalam bahasa Inggris). IB: On the Church of Christ ; On Holy Scripture. Diterjemahkan oleh Baker, Kenneth. Ramsey, New Jersey: Keep the Faith. hlm. 422–3. ISBN 978-0-9912268-7-0. OCLC 942788647. 
  9. ^ van Noort, Gerardus Cornelis (1959). "Chapter II – Article I". Dogmatic Theology. 2: Christ's Church. Diterjemahkan oleh Castelot, John Joseph; Murphy, William Robert. Westminster, Maryland: The Newman Press. hlm. 237. Istilah-istilah generik dari proposisi tersebut [Warga Gereja adalah semua dan hanya orang yang sudah menerima sakramen baptis, serta tidak terpisah dari kesatuan pernyataan iman, atau dari kesatuan hierarkis.] (teristimewa bagian keduanya) meliputi bermacam-macam kategori orang: ahli-bidat 'formal' dan ahli-bidat 'material': ahli-bidat 'publik' dan ahli bidat 'terselubung'; skismatikus 'formal' dan skismatikus 'material'; ekskomunikatus 'total' dan ekskomunikatus 'parsial'; dsb. Karena tidak semuanya sepemikiran dalam membahas beberapa dari kategori-kategori ini, para teolog berbeda-beda dalam beberapa label teologis yang mereka sematkan pada setiap kategori yang dianggap tunggal. 
  10. ^ a b Ott, Ludwig (n.d.). "Book four — Part 2 – Chapter 5 – §19 - 3.". Dalam Bastible, James. Fundamentals of Catholic Dogma. Diterjemahkan oleh Lynch, Patrick. Fort Collins, Colorado: Roman Catholic Books. hlm. 311. ISBN 978-1-929291-85-4. 
  11. ^ Salaverri, Joachim; Nicolau, Michaele (2015). "Book III — Chapter I – Article III – Thesis 26 - §1052". Sacrae Theologiae Summa (dalam bahasa Inggris). IB: On the Church of Christ ; On Holy Scripture. Diterjemahkan oleh Baker, Kenneth. Ramsey, New Jersey: Keep the Faith. hlm. 424–5. ISBN 978-0-9912268-7-0. OCLC 942788647. 
  12. ^ Salaverri, Joachim; Nicolau, Michaele (2015). "Book III — Chapter I – Article III – Thesis 26 - §1055". Sacrae Theologiae Summa (dalam bahasa Inggris). IB: On the Church of Christ ; On Holy Scripture. Diterjemahkan oleh Baker, Kenneth. Ramsey, New Jersey: Keep the Faith. hlm. 425–6. ISBN 978-0-9912268-7-0. OCLC 942788647. Pada bagian pertama kita katakan: ahli-bidat, murtadin, dan skismatikus, yang sifatnya formal dan termanifestasi, lantaran kenyataan itu jua terpisah dari Gereja. [...]
    Oleh sebab itu kita tidak menganwe are not considering pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, yang diperdebatkan di kalangan penulis Katolik, mengenai ahli-bidat, murtadin, dan skismatikus yang sifatnya material belaka atau terselubung
     
  13. ^ Fredericq, Paul (1900). Corpus Documentorum Inquisitionis Haereticae Pravitatis Neerlandicae: Verzameling Van Stukken Pauselijke en Bisschoppelijke Inquisitie in de Nederlanden (dalam bahasa Belanda). 4. Vuylsteke. 
  14. ^ Bainton, Roland H. (1950). Here I Stand: A Life of Martin Luther . Abingdon-Cokesbury Press. , hlmn. 145–147.
  15. ^ "Daily TWiP - The Spanish Inquisition executes its last victim today in 1826". 26 July 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 November 2014. Diakses tanggal 8 Juni 2013. 
  16. ^ "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Protestantism". www.newadvent.org. Diakses tanggal 2023-01-22. 
  17. ^ Ratzinger, Joseph (1993). The Meaning of Christian Brotherhood. Ignatius Press. hlm. 88. ISBN 9780898704464. 

Bacaan lanjutan

sunting
  NODES
Done 1
eth 4