Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia; di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia. Garis ini diberi nama sesuai nama penemunya, Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan yang jelas pada saat dia berkunjung ke Hindia Timur pada abad ke-19. Garis ini melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo dan Sulawesi; dan antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Adanya garis ini juga tercatat oleh Antonio Pigafetta tentang perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku, tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada 1521. Garis ini lalu diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia lalu ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna. Garis ini lalu dinamakan "Wallace-Weber".

Garis Wallace.

Penetapan

sunting

Alfred Russel Wallace mengadakan perjalanan mengelilingi alam Indonesia antara tahun 1854 hingga 1862. Tujuan awalnya untuk menetapkan teori mengenai spesiasi dalam seleksi alam. Alfred Russel Wallace mengadakannya untuk memperoleh komentar dari Charles Darwin atas teorinya melalui korespondensi. Melalui perjalanannya, Alfred Russel Wallace memberikan pemahaman mengenai adanya perbedaan di antara flora dan fauna di Asia dan Pasifik. Pemahaman akan adanya pembagian wilayah flora dan fauna terlihat jelas dalam suatu kawasan ekologi ini kemudian disebut sebagai Garis Wallace.[1]

Garis Wallace sendiri hanya ditetapkan berdasarkan keanekaragaman fauna di wilayah Indonesia. Batas-batasnya ditetapkan berdasarkan persamaan hewan-hewan yang ada di dalam suatu kawasan. Hasilnya diperoleh pembagian tiga kawasan fauna di Indonesia. Salah satu garis pembatasnya ialah Garis Wallace dan Garis Weber.[2] Garis Wallace secara khusus hanya membagi fauna Indonesia di bagian barat dengan fauna Indonesia di bagian tengah.[3]

Kawasan

sunting

Batas umum

sunting

Alfred Russel Wallace pertama kali memperkenalkan Garis Wallace pada tahun 1859. Garis Wallace merupakan sebuah hipotesis yang diajukan oleh Alfred Russel Wallace untuk menetapkan garis pemisah antara fauna Asia dan Australia. Garis Wallace dimulai dari utara dengan membatasi Kalimantan, Filipina dan Sulawesi. Kemudian garisnya memanjang ke arah selatan melalui Selat Makassar. Setelah itu, garis ini membatasi Pulau Bali dan Pulau Lombok.[4]

Malesiana

sunting

Garis Wallace menjadi salah satu garis maya yang membagi kawasan Malesiana. Penamaan garis maya didasari oleh kondisi garis yang hanya bersifat hipotesis. Pembagiannya sendiri bersifat tidak tegas sehingga dapat berubah ketika terdapat bukti baru yang membuat batas garis harus diubah. Selain itu, Garis Wallace masih menjadi perdebatan karena adanya garis maya lain seperti Garis Merril-Dickerson, Garis Zollinger, Garis Weber, dan Garis Lydekker.[4]

Pada Garis Wallace, kawasan Malesiana dibagi dua menjadi Malesiana Barat dan Malesiana Timur. Malesiana Barat meliputi Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan dan Filipina. Sementara Malesiana Timur meliputi Sulawesi, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil kecuali Pulau Bali, dan Papua.[5]

Batas Bioregion Oriental dan Bioregion Australasia

sunting

Garis Wallace menjadi garis pemisah terpopuler dari tujuh hipotesis yang pernah diajukan bagi transisi antara Bioregion Oriental dan Bioregion Australasia. Keenam garis pemisah lainnya ialah Garis Huxley, Garis Murray, Garis Muller, Garis Weber, Garis Scaltters, dan Garis Lydekker. Pada kawasan transisi ini, garis maya yang melewati Laut Sulawesi, Selat Makassar, dan Selat Lombok diperinci batasnya. Lokasi Garis Wallace tepat berada di sebelah barat Pulau Sangihe, Pulau Sulawesi dan Pulau Lombok.[6]

Garis Wallace juga menjadi pembagi bioregion di Indonesia bersama dengan dua garis pembatas lainnya, yaitu Garis Weber dan Garis Lydekker. Pembagiannya berdasarkan biogeografi flora dan fauna. Batas Garis Wallace yang paling timur hanya diitemukan fauna Asia. Garis Weber menjadi batas terjadinya keseimbangan antara fauna Asia dan Australia. Lalu batas paling barat Garis Lydekker hanya ditemukan fauna Australia.[7]

Pergeseran

sunting

Pembuatan Garis Wallace pada awalnya ditetapkan pada tahun 1860. Namun kemudian diubah oleh Alfred Russel Wallace pada tahun 1910.[8]

Pengaruh

sunting

Garis Wallace merupakan sebuah konsep yang mengesankan bagi para ahli biogeografi. Karena penyebaran flora pada suatu kawasan selalu diikuti dengan kemiripan penyebaran flora pada kawasan di dekatnya. Flora-flora pegunungan di Sulawesi Barat memiliki kemiripan dengan flora pegunungan di Kalimantan dan Jawa. Kemudian flora di tanah yang berasal dari lapukan batuan ultrabasik di Sulawesi bagian timur memiliki kemiripan dengan flora Papua yang tumbuh di tanah yang sama. Konsep Garis Wallace kemudian dimanfaatkan oleh ahli flora Hindia Belanda yang bernama Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis. Ia mengadakan penelitian flora pada tahun 1972 di pegunungan Sulawesi dan menetapkan pembagian flora menjadi flora asal lokal dan flora asal luar. Flora asal lokal ini disebut autokton, sedangkan flora asal luar disebut alokton.[9]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Goss, Andrew (2014). The Floracrats: State-sponsored science and the failure of the enlightenment in Indonesia [Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru]. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 1. ISBN 978-602-940-232-2. 
  2. ^ Abidin, Z., Purnomo, dan Pradhana, C. (2020). Keanekaragaman Hayati sebagai Komoditas Berbasis Autentitas Kawasan (PDF). Jombang: Fakultas Pertanian Universitas KH.A. Wahab Hasbullah. hlm. 13. ISBN 978-623-7540-23-6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2023-06-09. 
  3. ^ Khairunnisa (Oktober 2015). Bahan Ajar Perkuliahan Pendidikan IPA 1 (PDF). Banjarmasin: IAIN Antasari Press. hlm. 23. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-09-21. Diakses tanggal 2023-06-09. 
  4. ^ a b Rugayah, dkk. 2015, hlm. 2.
  5. ^ Rugayah, dkk. 2015, hlm. 3.
  6. ^ Zid, M., dan Hardi, O. S. (Desember 2018). Fatmawati, Bunga Sari, ed. Biogeografi (PDF). Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 22. ISBN 978-602-444-470-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-06-14. Diakses tanggal 2023-06-09. 
  7. ^ Adinugraha, F., dan Ratnapuri, A. (Oktober 2020). Keanekaragaman Hayati: Pembelajaran Biologi dengan Pendekatan Kearifan Lokal dan Budaya (PDF). Sleman: Mirra Buana Media. hlm. 6. ISBN 978-623-6747-40-7. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2023-06-09. 
  8. ^ Hartono, Bambang Tri (2016). Mindawati, N., Bismark, M., dan Abdulah, L., ed. Dilema Pemilikan Keanekaragaman Hayati dan Orkestrasi Konservasi Tumbuhan Hutan (PDF). Bogor: FORDA Press. hlm. 16. ISBN 978-602-6961-19-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2023-06-09. 
  9. ^ Asiyah, dkk. (Juli 2019). Sirajuddin dan Alek, O., ed. Ilmu Alamiah Dasar dalam Perspektif Islam sebagai Buku Rujukan di Perguruan Tinggi (PDF). Bengkulu: Penerbit Vanda. Bagian E. Biogeografi. ISBN 978-602-6784-89-6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-12-09. Diakses tanggal 2023-06-09. 

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting

Lihat pula

sunting
  NODES