Ki Aria Martaningrat

Ki Aria Martaningrat adalah seorang ketua menteri Kesultanan Kanoman keturunan Cina, gelar Ki Aria merupakan gelar yang diberikan kepada ketua menteri dari Kesultanan Kanoman.[1]

Penunjukan sebagai Ki Aria

sunting

Sultan Anom Badruddin pertama kali menunjuknya sebagai ketua menteri Kesultanan Kanoman pada bulan Juli 1689,[1] sebelum menjadi ketua menteri bagi kesultanan Kanoman beliau merupakan seorang pedagang.[1] Pada tahun 1691 ketika Sultan Anom Badruddin diperiksa di Batavia dalam kaitannya dengan bajak laut asal Banten dan Bali, Ki Aria berusaha untuk mewakilinya dalam menjalankan pemerintahan[1] di Cirebon.

Kasus penyelundupan lada

sunting

Pada tahun 1691 beliau dituntut karena diduga terlibat dalam usaha penyelundupan lada.[1] Pada masa itu sesuai dengan perjanjian Cirebon - Belanda 7 Januari 1681, Belanda berhak atas monopoli komoditas dari Cirebon,[2] termasuk diantaranya Lada[3] dan tindakan yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat disebut-sebut sebagai langkah untuk menghalang-halangi usaha monopoli dagang Belanda (dalam hal ini Vereenigde Oostindische Compagnie).[4]

Pada tahun 1695 pejabat penghubung Belanda di Cirebon Christiaan Krijger mengajukan keluhan atas aktifitas beliau yang Belanda anggap sebagai bagian dari tindakan penyelundupan lada, namun Christiaan Krijger gagal untuk menunjukkan barang bukti yang memadai untuk menjadi dasar bagi intervensi Vereenigde Oostindische Compagnie dalam kasus tersebut, pejabat penghubung Belanda tersebut juga gagal untuk meyakinkan pemerintahan Cirebon bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat merupakan tindakan kriminal.[5]

Kasus dengan Wangsa Teruna

sunting

Pada tahun 1691, Ki Aria Martaningrat terlibat sebuah perselisihan dengan Wangsa Teruna yang merupakan warga Cirebon keturunan Cina yang bekerja sebagai penterjemah bagi pejabat penghubung Belanda Christiaan Krijger.[1]

Pada bulan Mei tahun 1696, Ki Aria Martaningrat dituntut atas kasus percobaan pembunuhan terhadap Wangsa Teruna yang pada saat itu masih bekerja sebagai penterjemah pejabat penghubung Belanda di Cirebon.[5] Pada persidangan yang digelar dibawah wewenang Jaksa Pepitu perkara percobaan pembunuhan tersebut disidangkan dalam perkara padu (seperti kejahatan atas pembunuhan atau pembantaian) sehingga kasus percobaan pembunuhan dianggap bukanlah sebuah perkara yang serius bagi pengadilan sehingga dapat dijatuhi hukuman, pada pembelaannya Sultan Anom berpendapat dalam hukum yang berlaku di Cirebon bahwa percobaan pembunuhan adalah sebuah tindakan pembunuhan yang belum dilakukan sementara dalam perkara padu kasus yang dianggap sebuah kejahatan adalah pembunuhannya.[5]

Persidangan tersebut tidak menghasilkan sebuah hukuman dikarenakan hal yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat bukanlah sebuah pelanggaran yang dapat dihukum.[5]

Pada masa kemudian Wangsa Teruna bekerja sebagai administrator armada penangkap ikan milik keluarga Sultan Sepuh yang berbasis di desa Singaraja dan diberi gelar ngabei Marta Mangala.[1]

Kasus pembunuhan Citra Guna

sunting

Pada bulan Mei tahun 1696 Ki Aria Martaningrat dituntut telah membunuh Citra Guna seorang warga Cirebon yang berada dibawah kuasa Sultan Sepuh. Perkara yang dituntut kepada Ki Aria Martaningrat masuk dalam perkara Padu yang berada dibawah wewenang Jaksa Pepitu, berdasarkan hukum yang berlaku di Cirebon pada masa itu, perkara pembunuhan biasa (yang masuk dalam kategori Padu) dapat diselesaikan dengan membayar Patuk Sawa (uang pengganti nyawa) sebesar 33 real[5].

Kasus perkara Raja Wisuna

sunting

Pada bulan Mei tahun 1696 Ki Aria Martaningrat dituntut telah membuat sebuah kondisi dimana para penguasa Cirebon menjadi tidak harmonis (dalam bahasa Cirebon hal ini disebut Raja Wisuna)[5].

Awal terjadinya tuntutan Raja Wisuna terhadap beliau dimulai dari sebuah ikatan pernikahan antara putra dari Sultan Anom Badruddin (dimana Ki Aria Martaningrat adalah ketua menterinya) dengan putri dari Gusti Panembahan Nasiruddin[5].

Pada masa tersebut sebelum Pangeran Adiwijaya (putra kedua Sultan Sepuh Martawijaya) diangkat menjadi salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Aria Cirebon, Sultan Sepuh diwakili oleh tiga orang jaksa dalam institusi Jaksa Pepitu[6], sementara Sultan Anom dan Gusti Panembahan diwakili masing-masing oleh dua orang jaksa[7], jika dikaitkan dengan tuntutan bahwa Ki Aria Martaningrat telah mencoba untuk menggoyang kestabilan kuasa diantara ketiga penguasa Cirebon melalui pernikahan antara keluarga Anom dengan keluarga Gusti Panembahan maka dapat diartikan bahwa suara keluarga Anom dan Gusti Panembahan pada sidang dalam institusi Jaksa Pepitu menjadi suara mayoritas secara mudah karena diwakili oleh empat orang Jaksa secara kumulatif.

Berlandaskan peristiwa tersebut Ki Aria Martaningrat kemudian dituduh telah memainkan intrik istana guna menggoyang kestabilan kuasa diantara tiga penguasa Cirebon[1], perkara tersebut kemudian diputuskan masuk kedalam kategori perkara Raja Wisuna (menghasut para penguasa Cirebon dan menciptakan kondisi tidak harmonis diantara mereka)[5].

Perkara Raja Wisuna dalam hukum yang berlaku di Cirebon masuk dalam kategori Sadatatayi (enam cara pembunuhan) yang pengadilannya berada dibawah kuasa pengadilan Pradata dimana para penguasa Cirebon sendiri yang langsung memimpin sidang dengan didampingi para jaksa mereka[5].

Para penguasa Cirebon setelah menimbang keterangan dari kasus tersebut memutuskan bahwa Ki Aria Martaningrat dinyatakan bersalah dan hukuman bagi pelaku yang terlibat dalam perkara Raja Wisuna adalah hukuman mati, namun sebelum keputusan pengadilan Pradata dijatuhkan, Sultan Anom Badruddin sebagai atasan dari Ki Aria Martaningrat kemudian memohon keringanan dikarenakan Sultan Anom merasa berhutang budi kepada Ki Aria Martaningrat atas jasanya selama ini[5], berdasarkan permohonan tersebut, para penguasa Cirebon dan jaksa yang mendampinginya memutuskan untuk menjatuhkan hukuman berupa pengasingan kepada Ki Aria Martaningrat[1].

Pensiun dan akhir hayat

sunting

Ki Aria Martaningrat menyelesaikan pengabdiannya kepada kesultanan Kanoman pada tahun 1697 dan meninggal beberapa tahun kemudian[1].

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j Hoadley, Mason. 1988. Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing Ethnic Boundaries Ann Arbor : Journal of Asian Studies
  2. ^ Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
  3. ^ Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  4. ^ Tarupay, Heri Kusuma. 2020. Gagaklodra Makassar Detektif Nasionalisme Njoo Cheong Seng. Sleman : Sanata Dharma University Press
  5. ^ a b c d e f g h i j Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
  6. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
  7. ^ Viswandro, Maria Matilda, Bayu Saputra. 2018. Mengenal Profesi Penegak Hukum. Bantul : Media Presindo
  NODES
os 2