Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (bahasa Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) juga disebut Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi disimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian [1] Untuk saat ini telah ada 158 negara, termasuk Uni Eropa, telah bergabung dalam konvensi.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
Nama panjang:
  • United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
Ditandatangani10 Desember 1982
LokasiMontego Bay, Jamaika
Efektif16 November 1994[1]
Syarat60 negara telah meratifikasi
Pihak160[2]
  Telah meratifikasi
  Telah ditandatangani akan tetapi belum diratifikasi
  Tidak menandatangani

Dalam perumusan konvensi ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi, sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara peserta konvensi. PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan konvensi. Peran PBB hanyalah melalui organisasi-organisasi dunia yang menangani masalah-masalah maritim dan kelautan seperti Organisasi Maritim Internasional.

Penerapan di Indonesia

sunting

Sebelum adanya UNCLOS, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja sebagai aturan dasar tentang hukum wilayah laut di Indonesia. Deklarasi tersebut menggantikan kebijakan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) yang diterbitkan pada tahun 1939 oleh pemerintah Hindia Belanda.

Kebijakan TZMKO menyatakan bahwa laut daripada Indonesia memiliki lebar 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing-masing pulau di Indonesia sesuai dengan hukum internasional yang berlaku pada saat itu. Tetapi di tahun 1939 jaman itu TZMKO tidak menjamin kesatuan wilayah Indonesia karena letak Indonesia yang terpisah-pisah antara pulau-pulau serta laut yang menghubungkan pulau-pulau tersebut adalah perairan internasional. Selain itu, dengan batas 3 mil, kapal-kapal asing bisa dengan bebas keluar-masuk wilayah Nusantara "Indonesia sekarang". Sedangkan Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk daratan NKRI adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi Nusantara yakni Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia ini kaya akan adat dan kebudayaan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya yang membudaya di seluruh wilayah Nusantara NKRI saat ini, kesatuan Indonesia tetap menjadi hal yang sangat penting dalam menjaga keutuhan negara kesatuan Indonesia dengan pondasi dasar hukum Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 pasal 36B "Negara menjamin kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah Indonesia dengan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan prinsip negara hukum", Negara harus mutlak memastikan bahwa hak asasi manusia Adat dan Budaya di hormati dan prinsip struktur tahapan negara hukum di jalankan dengan sebenar-benarnya dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)[3].

Bentuk ratifikasi paling awal dari UNCLOS adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) dan dicantumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1985 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319 Tahun 1985. Hal ini juga dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hukum batas wilayah laut terluar Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Sebagai tindak lanjut atas ratifikasi UNCLOS tersebut, kini Indonesia sejak tahun 2014 telah memiliki payung hukum yang menekankan kewilayahan laut Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014, dan dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.

Referensi

sunting


  NODES
INTERN 6