Natal, Mandailing Natal
0°33′N 99°07′E / 0.550°N 99.117°E
Natal | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Sumatera Utara | ||||
Kabupaten | Mandailing Natal | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | - | ||||
Populasi | |||||
• Total | - jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 12.13.16 | ||||
Kode BPS | 1202060 | ||||
Luas | - km² | ||||
Kepadatan | - jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | 29 | ||||
|
Natal adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia, di pantai barat Sumatera Utara. Di dekat kota ini terdapat Taman Nasional Batang Gadis dan di sana terdapat kegiatan menambang emas. Natal berasal dari kata Ranah Nata (Bahasa Minangkabau: Tanah yang Datar), sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah ini.
Sejarah
suntingNatal atau Nata, sejak berabad-abad lalu telah menjadi basis perdagangan bagi masyarakat Minangkabau. Bersama kota-kota di pantai barat Sumatera Utara lainnya seperti Sibolga, Barus, dan Sorkam, kota ini memiliki pola budaya Minangkabau.[1] Wilayah ini mulai berkembang sejak diteroka oleh Raja Putiah asal Kesultanan Indrapura. Peneroka lainnya adalah Pangeran Indra Sutan asal Kerajaan Pagaruyung dan ikut pula bersamanya Datuk Imam asal Ujung Gading. Dalam perkembangannya, wilayah ini kemudian menjadi kerajaan tersendiri yang dikenal sebagai Ranah Nata.[2] Masih terdapat kontroversi mengenai asal mula nama Natal. Ada yang mengatakan bangsa Portugis yang memberi nama tersebut karena ketika mereka tiba di Pelabuhan di Pantai Barat Mandailing, para pelaut Portugis mendapatkan kesan bahwa pelabuhan alam ini mirip dengan Pelabuhan di wilayah Natal yang berada di Afrika Selatan sekarang. Ada versi lain yang menyebutkan bahwa armada Portugis tiba di Pelabuhan ini tepat pada hari besar Natal sehingga mereka menamakan pelabuhan tersebut dengan nama Natal. Oleh Puti Balkis A Alisjahbana, adik kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa kata "Natal" berasal dari dua ungkapan pendek masing-masingdalam bahasa Mandailing dan Minangkabau. Ungkapan dalam bahasa Mandailing yaitu "Na Tarida" yang artinya yang tampak (dilihat dari kaki Gunung Sorik Marapi di wilayah Mandailing Natal). Ungkapan ini kemudian berangsur-angsur menjadi Natar.[3]
Pada abad ke-16, Natal dikuasai oleh Kerajaan Aceh. Sejak tahun 1751-1825, Natal menjadi pos perdagangan Inggris. Setelah ditandatanganinya Traktat London, Natal menjadi bagian pemerintah Hindia Belanda, yang pada tahun 1843 dimasukkan ke dalam Residensi Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan, wilayah ini kemudian dimasukkan ke dalam administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Budaya
suntingSebagai wilayah rantau Minangkabau, kebudayaan Natal banyak dipengaruhi oleh budaya Minangkabau. Bahasa yang digunakan masyarakatnya ialah Bahasa Minangkabau logat Pariaman.[4] Namun sebagai kota perdagangan yang heterogen, budaya Natal juga banyak menyerap kebudayaan-kebudayaan lain, seperti budaya Melayu, Mandailing, Aceh, Bugis, India, dan Arab.
Seperti wilayah lainnya di pesisir barat Minangkabau, di Natal seorang anak yang ibu dan ayahnya keturunan bangsawan, maka akan berhak menyandang gelar Sutan (laki-laki) atau Puti (perempuan). Namun jika ibunya bukan keturunan bangsawan, maka anaknya hanya menggunakan gelar Marah (laki-laki) atau Sitti (perempuan).[5]
Tokoh
suntingKota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh terkenal Indonesia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Willem Iskandar, dan Amrus Natalsya.
-
Alun-alun Natal
-
Jalan di Natal
-
Rumah penduduk dekat Natal
-
Rumah sakit Natal, dulu kantor dan kediaman assistent-resident Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama Multatuli
Catatan kaki
sunting- ^ Mrazek, Rudolf; Sjahrir: politics and exile in Indonesia, 1994
- ^ Puti Balkis Alisjahbana, Natal Ranah nan Data, Dian Rakyat, Jakarta: 1996
- ^ Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, Profil Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014, Hal 6.
- ^ "Malang Benar Nasib Kampung Soetan Sjahrir". apakabarsidimpuan.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-15. Diakses tanggal 14 Februari 2016.
- ^ Elizabeth Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, Cornell University, 1981