Sila (Pali: sīla; Sanskerta: śīla), juga dikenal sebagai moralitas, latihan kemoralan, etika, atau akhlak, merupakan salah satu dari tiga bagian utama Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam Buddhisme. Sila merupakan pedoman bertingkah laku yang berpegang teguh pada komitmen untuk menjaga dan memelihara keselarasan serta pengendalian diri. Dorongan utama dari sila adalah semangat antikekerasan atau terbebas dari sebab suatu kerusakan atau kesengsaraan. Sila ini sering digambarkan sebagai suatu bentuk kebajikan dan kedisiplinan moral.[1][2] Di beberapa kesempatan, sila dideskripsikan berbeda sebagai prinsip dasar,[3] sikap yang benar,[4] tanggung jawab moral,[5] disiplin moral[6] dan penerimaan.

Sīla merupakan suatu perilaku kesusilaan yang berasal dari dalam diri individu, dijalankan dengan penuh kesadaran dan niat dari dalam diri individu, serta dilaksanakan berdasarkan komitmen individu untuk menempuh jalur kebebasan dari segala penderitaan (dukkha). Sīla ini pun merupakan suatu bentuk komitmen sepenuh hati dari diri individu terhadap apa yang menjadi kebajikan. Sīla ini sendiri memiliki dua aspek yang sangat penting yang meliputi "kinerja yang tepat" (caritta) dan "pantangan yang tepat" (varitta). Selain itu, menghormati dan memuliakan ajaran-ajaran sīla dianggap sebagai hadiah atau pemberian yang agung (mahadana) terhadap sesama karena hal tersebut dapat menimbulkan suasana kehormatan, kepercayaan, dan keamanan.[7]

Pedoman moral dalam Buddhisme terangkum dalam Tipitaka dan tradisi masyarakat awal Buddhisme. Sebagian besar ahli Buddhisme menyandarkan dasar moralitas dan etika Buddhisme pada pesan-pesan Sang Buddha yang tertulis dalam Tipitaka serta bukti-bukti antropologis berupa tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat Buddhis.[8]

Dasar sila

sunting

Sumber sila atau moralitas Buddhisme di seluruh dunia adalah Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha. Sang Buddha dianggap sebagai penemu dari pengetahuan pembebasan, sehingga dipandang sebagai sang guru utama. Dhamma diakui sebagai bentuk ajaran dari Sang Buddha dan juga bentuk kebenaran dari ajarannya. Sangha dipandang sebagai kaum dari orang-orang termulia (ariya) yang mengamalkan Dhamma dan telah meraih pengetahuan, sehingga mampu memberikan bimbingan dan melestarikan ajaran sang Buddha. Mempunyai pemahaman yang tepat dan benar terhadap ajaran sang Buddha merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menjalakan pedoman tingkah laku yang benar. Sang Buddha pun mengajarkan bahwa pandangan serta niat yang tepat dan benar merupakan prasyarat dari suatu tindakan yang baik ataupun terpuji.

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Gethin (1998), p. 170; Harvey (2007), p. 199; Ñāamoli (1999), pp. 3 passim; Nyanatiloka (1988), entry for "sīla"; Diarsipkan June 13, 2016, di Wayback Machine. Thanissaro (1999); June 1389; Nyanatiloka (1988), entry for "sīla"; and Saddhatissa (1987), pp. 54, 56.
  2. ^ Bodhi (2005), p. 153.
  3. ^ Gethin (1998), p. 170; Harvey (2007), p. 199; Ñāamoli (1999), pp. 3 passim; Nyanatiloka (1988), entry for "sīla"; Thanissaro (1999); and, Warder (2004), p. 100.
  4. ^ Gethin (1998), p. 170.
  5. ^ Gombrich (2002), p. 89; Nyanatiloka (1988), entry for "sīla"; and Saddhatissa (1987), pp. 54, 56.
  6. ^ Bodhi (2005), p. 153.
  7. ^ Living This Life Fully: Teachings of Anagarika Munindra, by Mirka Knaster Ph.D., Shambhala Publications, USA, 2010. Pg. 67
  8. ^ Damien Keown The Nature of Buddhist Ethics Macmillan 1992; Peter Harvey An Introduction to Buddhist Ethics Cambridge University Press 2000
  NODES