Perfilman Indonesia
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Proyeksi film indonesia pertama muncul pada masa kolonial, yang mana film-film tersebut terbatas hanya dapat ditonton oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Film ini pun kebanyakan adalah film dokumenter mengenai kehidupan warga lokal indonesia dan keindahan alam, selain itu film-film panjang banyak diimpor dari Prancis dan Amerika Serikat. Salah satu contoh film dokumenter yang tayang pada 1919 adalah Onze Oost atau Timur Milik Kita. Sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, dekade tersebut merupakan puncak pencapaian dalam popularitas industri setelah periode Kemerdekaan, terutama ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari.
Sinema Indonesia | |
---|---|
Jumlah layar | 2088 (2022)[1] |
Film fitur yang diproduksi (2022)[2] | |
Total | 126 |
Jumlah admisi (2018)[3] | |
Total | 51,100,000 |
Keuntungan Box Office (2017)[4] | |
Total | $345 million USD |
Bagian dari seri tentang |
Budaya Indonesia |
---|
Definisi film Indonesia pun menjadi pertimbangan penting bagaimana sebuah film dapat disebut beridentitas lokal atau Indonesia, Badan Perfilman Indonesia atau BPI merangkum definisi film indonesia sebagai film-film yang dibuat dengan sumberdaya Indonesia, dan keseluruhan atau sebagian Kekayaan Intelektualnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau Badan hukum Indonesia.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersial.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersial, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (diperankan oleh Derbi Romero, Sherina Munaf), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan the Movie, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersial itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Jumlah penonton bioskop pun meningkat dengan lebih dari 42 juta penonton pada tahun 2017. Dengan jumlah layar berkitar pada 1700 layar di tahúr 2018, dan di perkirakan akan bertambah sampai dengan 3000 layar pada tahun 2020, sektor ini pun di dominasi oleh sejumlah grup besar, terutama 21 Cineplex, CGV Cinemas dan Cinemaxx.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
Sejarah
suntingPeriode 1900 - 1942
suntingEra awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu.
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Boenga Roos dari Tcikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesia Malaise (1931).
Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
Periode 1942 - 1949
suntingPada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional.
Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha (日本映畫社), perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam.
Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai artis tidaklah dapat begitu saja meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat terus mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu antara lain adalah Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau Jawa. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan, dimana didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.
Periode 1950 - 1962
suntingHari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret karena pada tepatnya tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.
Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).
Pada masa itu selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini (dipimpin Usmar Ismail) dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik).
Periode 1962 - 1965
suntingEra ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat, pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal tersisa 350 bioskop.
Periode 1965 - 1970
suntingEra ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.
Periode 1970 - 1991
suntingPada masa ini teknologi pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1971 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.
Periode 1991 - 1998
suntingDi periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.
Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat.
Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991.
Pada masa inipun sinetron mulai mengisi jam-jam hiburan masyarakat. Dengan tajamnya tingkat penurunan produksi film nusantara, pembajakan karya audiovisual, dan kehadiran sinetron di stasiun Tv nasional memperburuk suasana industri perfilman dalam negeri. Meskipun begitu, tidak banyak pilihan yang dapat ditemukan oleh penonton tanah air saat itu. Dikarenakan juga oleh produksi film yang secara mayoritas adalah film-film dewasa yang bernuansa vulgar dan dinilai kurang mendidik secara moral, dan tidak sesuai dengan definisi film nasional Indonesia tayang secara bebas di bioskop kecil daerah, melalui media video, televisi dan/atau proyeksi publik.
Sinetron juga secara mayoritas di awal kehadirannya diproduksi oleh Multivision Plus yang didirikan oleh Raam Punjabi. Perusahaan film yang pada masa itu lebih banyak memproduksi sinetron untuk televisi.
Periode 1998 - 2009
suntingAkhir tahun 1999 hanya ada sekitar tujuh film produksi dalam negeri yang tayang secara luas, keterpurukan ini dimulai sejak mundurnya produksi pada tahun 1996 dengan hasil tiga puluh tiga film yang dapat diproduksi dan terdata dalam sistem. Krisis ekonomi, kerusuhan berbau SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) dan berakhirnya Orde Baru di penghujung tahun 1998 hampir mematikan industri perfilman indonesia secara keseluruhan.
Memasuki tahun 1999, era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional atau kelahiran baru setelah mati suri. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul pada era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh Group 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.
Periode 2010 - 2019
suntingDalam kurun periode satu dekade terakhir perfilman Indonesia mengalami berbagai peningkatan sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tidak hanya dengan pembangunan ruangan bioskop baru di wilayah luar jawa, tetapi dalam industri dibalik layarpun kehadiran berbagai asosiasi yang mendukung produksi menjadi salah satu faktor penting. Di dalam negeri upaya pemerintah dalam mempromosikan film lokal dengan peraturan Undang-Undang Nomor 33 Perfilman pada tahun 2009 berimbas positif dalam perkembangan industri ini, dalam pasal 10 dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan pelaku usaha pertunjukan film wajib mengutamakan film Indonesia dalam bagian 1, dan menjelaskan mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal dalam bagian 2. Sedangkan di perjelas dalam pasal 12 bahwa pelaku usaha pertunjukan film dilarang mempertunjukan film hanya dari satu rumah produksi dan dalam pengedarannya dilarang impor film melebihi 50% (lima puluh persen) dari jam pertunjukannya selama enam bulan berturut-turut demi menghindari praktek monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.
Film Indonesia pun semakin marak hadir di festival-festival Internasional dan mulai menggandeng negara lain sebagai pendukung dalam distribusi dan produksi.
Periode 2020 - Sekarang
suntingPandemi COVID-19 di awal tahun 2020 melumpuhkan industri perfilman dalam dan luar negeri. Indonesia yang tidak luput dari pandemi sempat menjadi salah satu negara dengan tingkat infeksi tertinggi di dunia pada Juli 2021 dengan sekitar 44.721 kasus aktif, hal ini juga memaksa pemerintah untuk membuat keputusan Penegakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, yaitu pembatasan berbagai kegiatan berkelompok salah satu imbasnya menyentuh pengusaha bioskop dan kegiatan pembuatan film untuk tutup atau tertunda untuk sementara secara nasional sejak pertengahan maret 2020.
Penutupan bioskop secara nasional menyentuh sekitar 68 bioskop, 387 layar yang tersebar di 33 kota dan 15 provinsi di Indonesia di periode awal pandemi demi keamanan staff dan penonton. Meskipun terbatas dengan kewajiban menjaga jarak dan kerja daring, pandemi tidak melumpuhkan kreativitas anak bangsa untuk menulis dan membuat film, dan pengusaha rumah produksi untuk tetap melanjutkan kegiatan profesional mereka melalui platform daring. Hal ini pun mengadaptasi mulai berkembangnya tren penonton daring dari platform Netflix dan mendorong industri lokal untuk meningkatkan mutu platform mereka, dan/atau bekerja sama dengan pihak channel televisi nasional untuk menghindari krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi.
Berbagai rumah produksi independen pun mulai ramai memproduksi film mereka dengan platform independen yang juga dapat diakses secara legal dan daring seperti Viddsee dan Vidio.com sebuah platform film dan series berbayar yang menayangkan tidak hanya film Indonesia tetapi juga film-film luar negeri.
Pasar Film Nasional
suntingBioskop
suntingTercatat bioskop pertama kali dioperasikan di Indonesia pada tahun 1926, berlokasi di Bandung dengan nama Bioskop Oriental dan Elita.[5][6] Di Jakarta, bioskop mulai diperkenalkan sejak tahun 1931 dengan pembukaan Bioskop Alhambra yang berlokasi di Sawah Besar. Beberapa bioskop tua lainnya yang beroperasi di Jakarta seperti Astoria, Grand, Metropole, Rex, Capitol, Rivoli, Central, Orion, dan lain sebagainya.[7] Hingga tahun 2019, sebanyak 2.000 cabang bioskop di Indonesia telah beroperasi dan akan terus bertambah seiring pembukaan cabang bioskop di daerah-daerah yang belum ada bioskop sama sekali. Beberapa pemain besar mendominasi jumlah cabang bioskop yang beroperasi, seperti Cineplex 21 Group, CJ CGV, dan Cinépolis.[1]
Cineplex 21 Group adalah pelopor jaringan bioskop tertua dan memiliki cabang bioskop dan jumlah layar terbanyak di Indonesia. Jaringan ini memiliki tiga merek bioskop terpisah, yakni Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premiere. Perusahaan ini juga mengoperasikan teater IMAX sejak tahun 2012 di beberapa cabang bioskop mereka. Sejak tahun 2012, beberapa cabang bioskop Cinema 21 direnovasi dan dilebur ke dalam merek Cinema XXI.
Blitzmegaplex menjadi pemain bioskop terbesar kedua di Indonesia. Dibuka pertama kali pada tahun 2006 di Bandung, Blitzmegaplex menawarkan konsep konsep baru untuk memberikan pengalaman yang berbeda saat menonton film. Pada tahun 2017, perusahaan bioskop Korea Selatan mengakuisisi perusahaan ini dan mengganti nama jaringan bioskopnya menjadi CGV Cinemas Indonesia.[8][9] CGV Cinemas telah meraih penghargaan dari MURI sebagai bioskop dengan layar terbesar di tanah air yaitu di auditorium 1 di CGV Cinemas Grand Indonesia.[10]
Pada tahun 2014, Lippo Group ikut bermain dalam bisnis bioskop melalui jaringan bioskop merek Cinemaxx. Awalnya bioskop ini beroperasi eksklusif di jaringan pusat perbelanjaan Lippo Malls, namun pada perkembangannya jaringan ini dapat meluas ke pusat perbelanjaan lainnya di Indonesia, termasuk di daerah yang belum terdapat bioskop sama sekali. Pada tahun 2019, perusahaan bioskop multinasional Meksiko mengakuisisi operasional bioskop Cinemaxx di Indonesia dan mengganti namanya menjadi Cinépolis[11][12]
Pada tahun 2017, Grup Agung Sedayu membuka cabang bioskop FLIX Cinema. Jaringan bioskop ini beroperasi secara premium di pusat perbelanjaan yang dibangun oleh Agung Sedayu, sehingga saat ini jaringan bioskop tersebut hanya tersedia di wilayah Jabodetabek.
Beberapa jaringan bioskop lainnya beroperasi secara independen dan terbatas di wilayah tertentu, namun tidak menutup kemungkinan dapat berekspansi di luar wilayahnya seperti Platinum Cineplex, New Star Cineplex, KOTA Cinema Mall, Dakota Cinema, Movimax, Golden Theater, dan lain sebagainya.
Jumlah Penonton Nasional
suntingPada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 34 tahun 2019 tentang Tata Edar, Pertunjukan, Ekspor dan Impor Film, pasal 17 menjelaskan perlunya pemberitahuan jumlah penonton suatu film secara berkala yang dibuat setiap akhir bulan melalui sistem pendataan Jumlah Penonton demi menyelenggarakan fungsi di bidang pengembangan perfilman. Pendataan dilakukan dengan sarana teknologi informasi dan komunikasi data perfilman yang memuat jumlah perolehan penonton di setiap film yang masuk di bioskop nasional berdasarkan jam pertunjukan dan lokasi mendetail, inipun mencakup film lokal maupun film impor.
Tahun | Jumlah Penonton Nasional |
2022 | 54,07 juta[13] |
2019 | 51,9 juta[13] |
2017 | 39 135 910 |
2016 | 34 088 298 |
2014 | 15 657 406 |
2013 | 12 716 790 |
2012 | 18 887 258 |
2011 | 15 565 132 |
Film Indonesia Terbaik
suntingSudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 27 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa.
- Tjoet Nja’ Dhien (1986)
- Naga Bonar (1986)
- Ada Apa dengan Cinta? (2001)
- Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
- Badai Pasti Berlalu (1977)
- Arisan! (2003)
- November 1828 (1978)
- Gie (2005)
- Taksi (1990)
- Ibunda (1986)
- Tiga Dara (1956)
- Si Doel Anak Betawi (1973)
- (Cintaku di) Kampus Biru (1976)
- Doea Tanda Mata (1984)
- Si Doel Anak Modern (1976)
- Petualangan Sherina (1999)
- Daun di Atas Bantal (1997)
- Pacar Ketinggalan Kereta (1988)
- Cinta Pertama (1973)
- Si Mamad (1973)
- Pengantin Remaja (1971)
- Cintaku di Rumah Susun (1987)
- Gita Cinta dari SMA (1979)
- Eliana, Eliana (2002)
- Inem Pelayan Sexy (1977)
- Putri Solo (1953)
- Lenggang Djakarta (1953)
Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yaitu:[14]
- Yan Widjaya (wartawan film senior)
- Ilham Bintang (wartawan film senior)
- Ipik Tanojo (Bali Post)
- Eric Sasono (pengamat film)
- Arya Gunawan (pengamat film)
- Noorca M. Massardi (wartawan film senior)
- Yudhistira Massardi (Gatra)
- Leila S. Chudori (Tempo)
- Frans Sartono (Kompas)
- Yusuf Assidiq (Republika)
- Aa Sudirman (Suara Pembaruan)
- Taufiqurrahman (The Jakarta Post)
- Eri Anugerah (Media Indonesia)
- Sandra Kartika (Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen)
- Telni Rusmitantri (Cek & Ricek)
- Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com)
- Wenang Prakasa (Movie Monthly)
- Orlando Jafet (Cinemags)
- Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo)
- Ekal Prasetya (Seputar Indonesia)
Berbagai faktor juga dapat mempengaruhi bagaimana film dapat dikategorikan sebagai film Indonesia yang terkenal tidak hanya didalam tetapi juga diluar negeri, entah melalui kebangsaan sang sutradara, atau apresiasi yang didapatkannya melalui ajang festival film internasional. Berikut merupakan daftar film indonesia yang tidak hanya diputar di luar negeri tetapi juga mendapat apresiasi tinggi dimata kritik film secara internasional.
- Arisan ! (2003) oleh Nia Dinata
- Merantau (2009) oleh Gareth Evans
- The Raid (2012) oleh Gareth Evans
- The Raid 2 (2014) oleh Gareth Evans
- Ruma Maida (2009) oleh Teddy Soeriaatmadja
- Marlina : Pembunuh Dalam Empat Babak (2017) oleh Mouly Surya
Referensi
sunting- ^ a b "Penonton di Bioskop Membludak, GPBSI Yakin Industri Perfilman Indonesia Akan Membaik". Kontan. Diakses tanggal 9 March 2023. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "JG1" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ "Daftar film berdasarkan tahun "2022"".
- ^ "Table 11: Exhibition – Admissions & Gross Box Office (GBO)". UNESCO Institute for Statistics. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 November 2013. Diakses tanggal 5 November 2013.
- ^ "Indonesia the next biggest box office market". Film Journal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 November 2018. Diakses tanggal 11 December 2017.
- ^ "Loetoeng Kasaroeng". filmindonesia.or.id. Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 July 2012. Diakses tanggal 21 July 2012.
- ^ Biran 2009, hlm. 66–68.
- ^ "Potret Bioskop di Jakarta dari Masa ke Masa". Liputan 6. Diakses tanggal 14 October 2019.
- ^ "CGV Blitz Rebrands, Changes Name to CGV Cinemas". The Jakarta Globe. Diakses tanggal 2017-06-09.
- ^ "Kontrak Habis, CGV MoI Ditutup". Kompas. Diakses tanggal 2019-01-15.
- ^ (Inggris) http://www.blitzmegaplex.com/en/about_blitz.php Diarsipkan 2013-12-16 di Wayback Machine.
- ^ AS, Anastasia (20 September 2019). "Cinemaxx Ganti Nama Menjadi Cinépolis". SWA. Diakses tanggal 24September 2019.
- ^ "News - Cinemaxx Theater". www.cinemaxxtheater.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-03. Diakses tanggal 2019-10-28.
- ^ a b NABABAN, WILLY MEDI CHRISTIAN (2023-01-04). "Tahun 2023, Penonton Film Indonesia Di_targetkan Pecahkan Rekor Baru". kompas.id. Diakses tanggal 2024-01-09.
- ^ 25 film indonesia terbaik dan terlaris sepanjang masa Diarsipkan 2008-06-02 di Wayback Machine., Bintang Indonesia, diakses 31 Desember 2007
Lihat pula
suntingPranala luar
sunting- (Indonesia) Film Indonesia
- (Indonesia) Film Indonesia, Mati Suri Pun Tak Pernah