Suku Angkola
Batak Angkola merupakan salah satu kelompok etnis Batak. Tanah ulayat Batak Angkola berada di wilayah selatan Tapanuli, yakni meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan sebagian Kabupaten Mandailing Natal.
Daerah dengan populasi signifikan | |||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sumatera Utara (terutama di Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas) | |||||||||||||||||||||||||
Bahasa | |||||||||||||||||||||||||
Bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia juga digunakan. | |||||||||||||||||||||||||
Agama | |||||||||||||||||||||||||
Islam (90%), Kekristenan (10%) | |||||||||||||||||||||||||
Kelompok etnik terkait | |||||||||||||||||||||||||
Batak Toba Batak Mandailing Batak Simalungun Batak Pakpak Batak Karo |
Suku Batak Angkola memiliki hubungan kekerabatan (tarombo) dengan marga-marga Batak Toba dan Batak Mandailing. Di samping itu, ketiganya juga saling berbagi beberapa persamaan bahasa dan budaya yang dihidupi sebagian besar masyarakatnya.[1]
Wilayah sebaran
Selama ini banyak orang menganggap penduduk asli Tapanuli Selatan semuanya etnis Mandailing dan sebagian Batak Toba. Anggapan ini sangat keliru. Tapanuli Selatan sebelum pemekaran wilayah menjadi Tapanuli Selatan (Ibu Kota Padang Sidempuan, kemudian Sipirok). Mandailing Natal (beribu kota Panyabungan). Sejak dahulu kala dihuni oleh penduduk asli yang terdiri dari etnis Angkola dan Mandailing.
Etnis Batak Angkola mayoritas mendiami Tapanuli Selatan sekarang, ditandai dengan dominasi marga Harahap dan Siregar. Mandailing memang mayoritas mendiami daerah Mandailing Natal yang sekarang, dengan dominasi marga Nasution dan Lubis.
Dalam sejarah Tapanuli Selatan dijelaskan, Angkola mengandung dua arti penting. Angkola bisa diartikan sebagai suatu wilayah, teritori atau daerah. Makna lain, Angkola adalah sebuah etnik berdiri sendiri dan asli di Sumatera Utara ini.
Sejarah mencatat, sebelum Indonesia merdeka, Wilayah Pemerintahan di Tapanuli Selatan dahulunya bernama Afdeling. Dipimpin oleh sorang Residen dengan pusat Pemerintahan Padangsidimpuan. Membawahi 3 Onder Afdeling dan masing-masing dipimpin oleh controlleur, seterusnya membawahi Onder Distrik dipimpin oleh Asisten Demang.
Onder Afdeling di bawah Afdeling, antara lain Angkola dan Sipirok berpusat di Padangsidimpuan. Onder Afdeling Padang Lawas di Sibuhuan dan Onder Afdeling Mandailing di Kota Nopan.
Selanjutnya Onder Afdeling yang membawahi Onder Distrik. Angkola, membawahi 3 Distrik masing-masing Angkola dengan pusat Padangsidimpuan, Batang Toru di Batang Toru dan Distrik Sipirok di Sipirok. Onder Distrik ini membawahi pula Luhat/Kuria yang dipimpin oleh Kepala Kuria.
Sebelum kemerdekaan, ketiga Onder Afdeling yang ada, sama kedudukannya dengan kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Setelah pemulihan kekuasaan tahun 1949, seluruhnya digabung menjadi satu Kabupaten dengan pusat pemerintahan di Padangsidimpuan.
Dalam pemerintahan sekarang, Onder Afdeling Angkola sebelumnya terdiri dari tiga Onder Distrik dan beberapa Kekuriaan, berkembang menjadi beberapa kecamatan. Seperti Kuria Sipirok telah dipecah/dimekarkan menjadi beberapa Kecamatan, antara lain Sipirok, Arse (pemekaran dari Sipirok), Padangsidimpuan Timur, Saipar Dolok Hole dan Aek Bilah (pemekaran dari Saipar Dolok Hole), Batang Angkola, Sayur Matinggi, Sigalangan, hingga ke Batang Toru dengan beberapa pemekarannya, sampai kecamatan Dolok, ibukotanya Sipiongot.
Angkola adalah Etnik
Jauh sebelum penjajah Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada penduduk yang mendiami wilayah Angkola. Diperkirakan 9000 tahun sebelum masehi. Itulah yang dinamakan Etnik Angkola (asli Angkola, bukan pecahan atau yang memisahkan diri dari Etnik lain).
Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan seperti Sabungan (di kaki Lubuk Raya), Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu, Mandalasena, dan lain-lain.
Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti :
- Falsafah dasar “Dalihan Na Tolu”, sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini tetap dipedomani,
- Adat Istiadat Budaya,
- Pakaian Adat Tersendiri
-Kain Ulos (Abit Godang&sadun) dan kain tenun
- Bahasa dengan Aksara. Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya; bahasa Biasa (digunakan dalam komunikasi sehari-hari), Andung (bahasa halus), Bura (bahasa Kasar) atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola ni Hata. Aksara Angkola dengan tulisan tersendiri. Jika dibaca menurut ejaan Latin adalah A, HA, MA, NA, RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA,BA, LA, NGA, KA, CA, NYA, GA, YA (Konsonan Ina ni Surat). Dilengkapi dengan symbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal E, I, O dan U serta symbol pembatas disebut Pangolat menandakan huruf mati, misalnya NGA menjadi NG, dan lain-lainnya. Bentuk huruf/abjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara etnik lainnya.
- Mempunyai Kesenian dan Alat-alatnya.
- Ornamen khas.
- Tutur (adab panggilan), dalam pergaulan sehari-hari mempunyai tidak kurang dari 135 jenis Tutur/Sapaan.
- Buku Adat Budaya Angkola (lengkap) ditulis oleh Stn. Tinggibarani Siregar dan lain-lain ciri khas kebudayaannya, telah dianut secara turun temurun.
Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata pelajaran disekolah SD dan SMP/sederajat diseluruh Tapanuli Selatan, baik pelajaran Tata Bahasa (Impola ni Hata), Bahan Bacaan (Turi-turian) dan lain-lain dipergunakan adalah versi Angkola, dengan berbagai macam bahan/pedoman hidup bermasyarakat, sebagai dasar dalam berbudi pekerti.
Dari segi garis keturunan yang menerapkan system Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan Marga/Clan yang dominan seperti Harahap, Siregar, Pane dengan rumpun marganya masing-masing, seluruhnya mendiami ketiga onder distrik tersebut.
Dilihat dari segi falsafah Dalihan na Tolu, hubunan kekeluargaan Etnik Angkola dibagi kepada; 1. Mora, pihak keluarga pemberi boru. Mora ini mendapat posisi didahulukan karena pihak Mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping Raja-Raja maupun Pemangku Adat; 2. Suhut dengan Kahanggi, keluarga yang mempunyai hajatan atau horja adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah; 3. Anak Boru, yaitu pihak keluarga pemberian Boru (pangalehenan Boru).
Di dalam pelaksanaan sesuatu pekerjaan adat, masing-masing unsur Dalihan na Tolu, masih mempunyai teman kelompok (sajuguhan=sebarisan) seperti Mora dengan Mora ni Mora (biasa juga disebut Hula Dongan, Kahanggi/Suhut dengan Pariban (saudara/keluarga sepengambilan) dan Anak Boru bersama dengan Anak Borunya yaitu Pisang Raut yang sering juga disebut Piso Pangarit.
Kurang Dikenal
Banyak orang cukup mengenal kata Angkola, mengenal Sipirok, tetapi lebih banyak yang kurang mengenal Etnis Angkola. Hal ini antara lain disebabkan:
1. Adanya anggapan semua penduduk Tapanuli Bagian Selatan suku Mandailing.
2. Tentang Angkola, sebab terbatasnya penutur sejarah budaya Angkola.
3. Kurangnya minat generasi mempelajari sejarah asal-muasal.
4. Terhadap adat istiadat dan budaya.
Tidaklah diragukan jika pada umumnya orang Tapanuli Selatan seluruhnya (etnik aslinya) dianggap orang Mandailing. Padahal orang Mandailing sendiri tidak pernah menganggap atau menyamakan orang Angkola dengan orang Mandailing. Meskipun dalam adat istiadat budayanya ada persamaan, namun tetap ada perbedaan yang tak perlu dipertentangkan.[butuh rujukan]
Sejarah
Suatu sumber sejarah mencatat bahwa orang Batak Angkola awalnya berkembangnya dari daerah Porboti, Padang Lawas (Padang Bolak), Tapanuli Selatan yang di kemumukan oleh B. G. Siregar dalam Surat Tumbangan Holing: Buku Pelajaran Adat Tapanuli Selatan (1984).
Padang Bolak adalah wilayah asal orang Batak Angkola, di daerah Portibi terdapat sebuah candi, yaitu candi Biara, peninggalan agama Hindu dan Buddha, pengaruh tersebut tampak juga pada tulisan Gurat Angkola, atrologi, permainan catur, dan kosakata sanskerta. Ini merupakan bukti adanya kontak dengan India dan Jawa.
Candi di Portibi ini konon berjumlah 16 buah, dan kini yang masih ada tinggal lima buah. Diantara kelima candi itu , tiga di antaranya disebut Bahal I, II, III.
Pada Bahal I Tinggi candi tersisa sekitar 12 meter,berukuran 10x10 meter. Relief dinding luar berwujud orang menari.
Bahal II terletak sekitar 400 meter dari Bahal I, dan terdapat gambar dewa yang sedang menari. Candi ini berada di tengah padang ilalang. Bahal I terletak di arah Timur dengan ukuran 7x7 meter. Disekitaran candi-candi terdapat banyak sisa-sisa bangunan kuno dengan kepunahannya.
Bahasa
Bahasa Batak Angkola mempunyai bahasa yang identik dengan bahasa Batak Toba dan bahasa Batak Mandailing karena domisilinya diapit oleh dua wilayah tersebut. Perbedaan hanya pada beberapa kosakata dan logatnya saat berbicara. Logat pada masyarakat Batak Angkola terdengar lebih lembut dibandingkan orang Batak Toba, dan logat Batak Angkola terdengar lebih tegas jika dibandingkan dengan Batak Mandailing.
Marga
Sebagai salah satu masyarakat asli Sumatera Utara, Batak Angkola memiliki marga sebagai identitas sosial. Marga-marga Batak Angkola meliputi:
- Batubara
- Dalimunthe
- Dasopang
- Daulay
- Harahap
- Hasibuan
- Hutasuhut
- Lubis
- Marpaung
- Matondang
- Nasution
- Nainggolan
- Pakpahan
- Pane
(disebut juga Sitorus Pane) - Panggabean
- Pasaribu
- Pohan
- Pospos
- Pulungan
- Rambe
- Sagala
- Simatupang
- Siregar Dongoran
- Siregar Ritonga
- Siregar Siagian
- Siregar Silali
- Siregar Silo
- Siregar Sormin
- Sipahutar
- Tanjung
- Tambunan
- Tampubolon
Agama
Mayoritas masyarakat Batak Angkola menganut agama Islam. Namun terdapat sebagian yang menganut agama Kristen Protestan. Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) merupakan gereja basis bagi orang Batak Angkola yang menganut agama Kristen Protestan, dan banyak tersebar di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara.
Referensi
- ^ Setiawan, Samhis. "Suku Batak". www.gurupendidikan.co.id. Diakses tanggal 15 Oktober 2021.