Teuku Ben Mahmud

pahlawan nasional Indonesia

Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja atau Teuku Ben Mahmud (lahir sekitar tahun 1860) adalah uleebalang Blangpidie yang memimpin perang gerilya melawan Belanda di pesisir barat selatan Aceh, Gayo, Alas hingga tanah Batak pada awal abad ke-20.[1] Teuku Ben Mahmud beserta 160 pasukannya turun gunung pada Juli 1908 setelah sebulan sebelumnya Belanda berhasil menyandera keluarga dan beberapa pasukan Teuku Ben.[2] Pada tahun 1911, Teuku Ben Mahmud diasingkan menggunakan kapal van doorn ke Maluku Utara.[3]

Teuku Ben Mahmud Setia Raja
Teuku Ben Mahmud bersama awak kapal van Doorn dalam perjalanan menuju tempat pengasingan di Maluku
Ulèëbalang Nanggroë Blangpidië
Zelfbestuurder n.b. Landschap Blang-Pidië
Masa jabatan
1882–1909
PresidenSultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat
Sebelum
Pendahulu
Teuku Ben Abbas
Teuku Nyak Sawang (de jure)
Pengganti
Teuku Banta Sulaiman
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir1860 (perkiraan)
Kesultanan Aceh Blangpidie, Kesultanan Aceh Darussalam
Meninggal28 Maret 1974(1974-03-28) (umur 114)
Indonesia Saramaake, Wasile Selatan, Halmahera Timur
KebangsaanIndonesia
Orang tuaTeuku Ben Abbas (ayah)
Cut Meuh (ibu)
ProfesiUleebalang
Karier militer
PihakKesultanan Aceh Kesultanan Aceh Darussalam
Masa dinas1875-1908
PangkatBentara
Pertempuran/perangPerang Aceh dengan Belanda

Perang Dunia II

Perang Revolusi Nasional Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan Awal

sunting

Teuku Bentara Mahmud lahir di Gampong Cot, Kuta Tinggi, Blangpidie, Aceh Barat Daya sekitar tahun 1860. Ayahnya bernama Teuku Bentara Nyak Abbas bin Teuku Bentara Agam Nyak Sari yang berasal dari Mukim Gampong Lhang, Pidie. Saat masih muda, Teuku Ben Mahmud digelari oleh Datuk Susoh dengan sebutan Anak Bergumbak. Pada tahun 1882, Teuku Ben Mahmud diangkat oleh Sultan Aceh menjadi uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja.

Pada awal abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Kuta Batee antara beberapa pemimpin koloni dari Pidie dan Aceh Besar. Hingga kemudian Tuanku Pangeran Husein bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1836-1869) dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai sekaligus memberikan cap seuteungoh kepada Teuku Ben Abbas sebagai uleebalang Blangpidie yang pertama terlepas dari Kenegerian Susoh.

Setelah Teuku Ben Abbas meninggal dunia, kepemimpinan kenegerian Blangpidie dilanjutkan oleh Teuku Ben Mahmud. Namun dikarenakan Teuku Ben Mahmud masih kecil. Pemerintahan dkendalikan oleh pamannya bernama Teuku Nyak Sawang gelar Raja Muda Blangpidie yang bertindak sebagai pemangku raja Blangpidie sekaligus uleebalang Pulau Kayu.

Teuku Nyak Sawang mendapuk dirinya sebagai Zelfbestuur Landschappen Pulau Kayu-Blangpidie setelah menandatangani korte verklaring pada tanggal 9 Maret 1874 dan dikukuhkan pada tanggal 27 Juli 1874. Setelah kematian Teuku Nyak Sawang, uleebalang Pulau Kayu dijabat oleh anaknya; Teuku Raja Cut.

Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulau Kayu bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulau Kayu yang bernama Teuku Nyak Seh yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Tok Gam. Pulau Kayu kala itu menjadi pelabuhan satu-satunya Blangpidie yang bersebelahan langsung dengan Bandar Susoh.

Saat Teuku Ben Mahmud menunjukkan sikap perlawanan terhadap Belanda pada saat mereka memasuki Aceh pada tahun 1873, Teuku Nyak Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada tahun 1874 di saat kunjungan Divisi Laut Belanda ke Pantai Barat Aceh yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Setelah kematian Teuku Nyak Sawang gelar Raja Muda Blang Pedir, Teuku Ben Mahmud menikah dengan janda Teuku Nyak Sawang bernama Cut Meurah binti Teuku Pang Chik. Cut Meurah yang merupakan uleebalang cut Kuta Tuha adalah sosok yang mengubah nama Kuta Batee menjadi Blangpidie.

Teuku Ben Mahmud memiliki empat orang istri di Aceh yaitu Cut Meurah, Cut Halimah Mata Ie, Cut Gadih dan Cut Linggam. Putra pertamanya bersama Cut Meurah, istri pertama lahir pada tahun 1884 dan diberi nama Teuku Banta Sulaiman, putra mahkota Blangpidie.

Pada tahun 1882, Teuku Ben Mahmud ditunjuk oleh Sultan Muhammad Daud Syah sebagai uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja. Namun, Belanda baru mengakuinya setelah ia turun gunung pada tahun 1908. Meskipun demikian, Teuku Ben Mahmud menolak menjadi Zelfbestuurder van Blangpidie. Jabatan itu ia serahkan kepada putranya; Teuku Banta Sulaiman. Adapun Teuku Umar bin Teuku Raja Cut menjadi uleebalang cut Pulau Kayu dan Teuku Muhammad Daud bin Teuku Raja Cut menjadi uleebalang cut Guhang dengan gaji 25 Gulden. Gaji ini lebih tinggi daripada gaji uleebalang cut lainnya di Pantai Barat Selatan Aceh

Keluarga mendiang Teuku Nyak Sawang pernah mengajukan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar negeri Pulau Kayu menjadi negeri otonom yang terpisah dari Blangpidie. Pada tanggal 12 Oktober 1880 dibuatlah sebuah pernyataan bahwa negeri Pulau Kayu akan dipisahkan dari Blangpidie, pernyataan tersebut disetujui oleh Belanda dan diratifikasi ke dalam Akta Nomor 24 Tanggal 26 Maret 1881. Kemudian berlanjut pada masa Teuku Raja Cut yang dideklarasi pada tanggal 8 November 1900 dan Akta pengukuhan tanggal 22 April 1901 yang disetujui dan diratifikasi dalam Akta Nomor 10 Tanggal 15 Juni 1901. Namun akta persetujuan dan pengesahan tersebut tidak jadi diterbitkan karena Teuku Nyak Cut (pemangku dari Teuku Umar bin Teuku Raja Cut) meninggal dunia, sehingga wilayah Pulau Kayu secara bertahap kembali menjadi bagian dari Blangpidie dan seterusnya keturunan Teuku Ben Mahmud dianggap sebagai penguasa wilayah tersebut atau Zelfbestuurder Blangpidie.

Perjuangan

sunting

Sejak Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada 26 Maret 1873, Teuku Ben Mahmud terus menunjukkan sikap perlawanan menentang keberadaan Belanda di Aceh. Teuku Ben sejak muda selalu mendukung dan membantu upaya perlawanan terhadap Belanda. Bahkan saat remaja, ia secara tegas juga tidak mengakui kekuasaan Belanda di Aceh serta menolak bekerjasama dengan Belanda.[4]

Pada tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang Teuku Larat uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda. Dalam penyerangan itu ditawan juga puteri Teuku Larat yang bernama Cut Intan Suadat, yang kemudian dinikahkan dengan Teuku Banta Sulaiman putra Teuku Ben Mahmud. Penyerangan itu dikenal dengan nama Perang Jambo Awe, dikarenakan penyerangan itu dipimpin panglima Teuku Ben Mahmud bernama Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan.

Pada Tahun 1900, pasukan marsose Belanda berhasil memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi (bivak) marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Setelah Belanda merebut wilayah Blangpidie pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya dari hulu Tripa hingga hulu Singkil.

Pada 7 April 1901, pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang menyerang markas Belanda di Blangpidie, sehingga membuat pasukan marsose Belanda yang dipimpin Letnan Helb kocar kacir. Pasukan yang membantu Teuku Ben Mahmud terdiri atas beberapa orang Gayo yang terkenal dan gagah berani antara lain Ang Bali dari Cane Toa, Raja Chik Padang, dan Raja Chik Pasir.

Pada tahun 1905, pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 pejuang menyerbu markas Belanda di Tapaktuan. Dalam pertempuran tersebut, Teuku Ben Mahmud dibantu oleh panglima-panglima yang gigih dan tangguh antara lain Haji Yahya dari Aluepaku, Sawang, Said Abbdurrahman dari Pasie Raja dan Teuku Cut Ali dari Trumon.[5]

Di tahun yang sama, pasukan Teuku Ben yang dipimpin Tengku Idris dari Nagan Raya juga menyerang rombongan kontrolil Belanda yang sedang mengutip blestenk (pajak rakyat) di Kuta Buloh, Meukek. Penyerangan ini menewaskan beberapa serdadu Belanda. Aksi tersebut membuat Belanda melakukan sweeping secara ketat, sehingga membuat Tengku Idris dan beberapa pasukan Teuku Ben lainnya tertangkap dan dibuang ke Ternate, Maluku Utara. Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia 1978-1988 dr. H. Abdul Gafur bin H. Abdul Hamid Tengku Idris, adalah cucu Tengku Idris, panglima Teuku Ben Mahmud.

Pada tahun 1905, Teuku Ben juga menjalin komunikasi dan membantu perlawanan Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.Teuku Ben Mahmud memimpin gerilya di barat selatan Aceh dan menghadapi marsose Belanda dibantu juga oleh pasukan khusus Kesultanan Aceh dari Gayo dan Alas.

Pada Juni 1908, Belanda berhasil menyandera beberapa anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben termasuk istri Teuku Ben, putra mahkota Teuku Banta Sulaiman beserta 100 orang pengikutnya. Atas bujukan Kapitein W.B.J.A. Scheepens dan Kapitein H. Colijn, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya pada Juli 1908 akhirnya terpaksa turun gunung dengan membawa 17 pucuk senjata dan menghentikan gerilyanya dengan syarat Belanda harus melepaskan sandera dan mengembalikan pejuang Aceh yang mereka buang ke luar Aceh.

Meskipun telah turun gunung, Teuku Ben Mahmud tetap diawasi oleh Belanda. Secara diam-diam Teuku Ben masih terus menyemangati pejuang Aceh bahkan sempat memerintahkan untuk membunuh seorang mata-mata Belanda. Karena dianggap masih memiliki pengaruh terhadap perlawanan melawan Belanda, Teuku Ben Mahmud dan beberapa keluarganya akhirnya dibuang ke Halmahera, Maluku menggunakan kapal Van Doorn antara tahun 1911-1914.[6]

Meskipun perjuangan Teuku Ben Mahmud terhenti setelah ia dibuang ke Maluku. Namun semangat perjuangannya tetap diteruskan oleh Teuku Karim bin Teuku Bentara Mahmud dan pasukan nya yang lain. Bahkan disinyalir peristiwa 11 September 1926 atau penyerangan tangsi Belanda di Blangpidie oleh pasukan Teungku Peukan juga dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh semangat perjuangan Teuku Ben Mahmud.

Putra sulung Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman juga diasingkan oleh Belanda dan dibuang ke Peureulak, Aceh Timur antara tahun 1916-1919 lalu dipindahkan ke Kutaraja hingga masuknya Jepang ke Aceh baru ia bisa kembali pulang ke Blangpidie. Saudaranya, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud turut melakukan perlawanan melawan Belanda hingga masuknya Jepang pada tahun 1942

Sepeninggal Teuku Banta Sulaiman, pada 30 Oktober 1917 kepemimpinan kenegerian Blangpidie selanjutnya diambilalih oleh adiknya, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud, karena Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman masih kecil. Baru pada 11 Oktober 1929, Zelfbestuurder van Blangpidie dijabat oleh Teuku Sabi hingga terjadinya revolusi sosial pasca kemerdekaan Indonesia. Teuku Sabi menikah dengan putri Datuk Nyak Raja (Zelfbestuurder van Susoh). Teuku Sabi tidak memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan kepemimpinannya sebab anak laki-laki mereka satu-satunya bernama Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi meninggal saat masih kecil akibat tenggelam di kolam rumah Haji Chek Ahmad yang berdekatan dengan kediaman Teuku Sabi di Keude Siblah.[7]

Saat kematian Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi terjadi perdebatan terkait hukum samadiah atau tahlilan. Peristiwa ini berujung pada perdebatan antara murid-murid Abu Syekh Mud termasuk Abuya Muda Waly dengan Teungku Sufi Gle Karong.[8]

Penghargaan

sunting

Atas pengabdian dan perjuangannya untuk Kesultanan Aceh semasa perang Aceh melawan Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah menganugerahi Teuku Ben Mahmud gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja. Nama Teuku Ben juga diabadikan sebagai nama jalan di Blangpidie dan Tapaktuan. Selain itu, nama Teuku Ben Mahmud juga dijadikan sebagai nama yayasan yang mengelola asrama mahasiswa Blangpidie di Banda Aceh.

Penjabat Bupati Aceh Barat Daya, Darmansah memberikan penghargaan kepada Teuku Ben Mahmud sebagai Tokoh dan Pahlawan Perang Aceh asal Aceh Barat Daya.[9] Selain itu, Kepala Kantor Kementerian Agama Republik Indonesia Kabupaten Aceh Barat Daya juga memberikan penghargaan kepada Teuku Ben Mahmud sebagai Tokoh Gerilya dan Pahlawan Perang Aceh.[10] Pemberian penghargaan ini merupakan bentuk dukungan atas usaha pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Teuku Ben Mahmud yang dilakukan oleh Aceh Culture and Education dan Museum Sejarah Susoh.[11]

Rujukan

sunting
  1. ^ Rozal Nawafil, Aris Faisal Djamin dan (2024). Teuku Bentara Mahmud Setia Radja : pahlawan besar perang Aceh. Banda Aceh: Aceh Culture And Education. hlm. vi. ISBN 978-623-88864-3-2. 
  2. ^ "Teuku Ben Mahmud dan Perjuangan Melawan Belanda Salah satu tokoh perlawanan terhadap kolonial Belanda,". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  3. ^ "ACTION Ajukan Teuku Ben Mahmud Sebagai Pahlawan Nasional Asal Abdya". Diakses tanggal 2024-06-02. 
  4. ^ Juli, Muhajir (2024-08-09). "Teuku Bentara Mahmud Layak Jadi Pahlawan Nasional - Komparatif.ID" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-09. 
  5. ^ "TP2GK Luncur Buku Teuku Ben Mahmud, Saat Pameran Sejarah di Museum Susoh Bertepatan Hari Pahlawan". Serambinews.com. Diakses tanggal 2024-11-10. 
  6. ^ "Makam Teuku Ben Mahmud ditemukan di Halmahera". Diakses tanggal 2024-06-02. 
  7. ^ "Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)". Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (dalam bahasa Inggris). 2015-02-06. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  8. ^ Rozal Nawafil, Aris Faisal Djamin dan (2024). Teuku Bentara Mahmud Setia Radja : pahlawan besar perang Aceh. Banda Aceh: Aceh Culture and Education. hlm. 405. ISBN 978-623-88864-3-2. 
  9. ^ koalisi.co (2024-06-04). "Teuku Ben Mahmud Dianugerahi Penghargaan "Tokoh Gerilya dan Pahlawan Perang Aceh"". Koalisi.co. Diakses tanggal 2024-06-19. 
  10. ^ "Action Terima Penghargaan Teuku Ben Mahmud dari Kemenag Abdya". Diakses tanggal 2024-06-02. 
  11. ^ "ACTION Ajukan Teuku Ben Mahmud Sebagai Pahlawan Nasional Asal Abdya". Serambinews.com. Diakses tanggal 2024-06-22. 
  NODES