Wahhabisme

gerakan Islam bercabang dari Sunni

Wahhabisme (bahasa Arab: ٱلْوَهَّابِيَةُ, translit. al-Wahhābiyyah) atau Wahabi[a] adalah sebuah gerakan reformis di dalam Islam Sunni, berdasarkan ajaran dari ulama Hambali pada abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahhab (ca 1703–1792)[1][2][3][4][5][6][7] Istilah "Wahabisme" pada dasarnya adalah eksonim; istilah ini tidak digunakan oleh Ibnu Abdul Wahhab sendiri atau penganut gerakan tersebut, yang biasanya lebih suka disebut sebagai "Salafi" (istilah Salafi juga digunakan oleh pengikut gerakan reformasi Islam lainnya).[b]

Gerakan reformasi ini didirikan di Arab tengah dan kemudian di Arab Barat Daya,[18][19][20][21] dan diikuti terutama di Arab Saudi dan Qatar. Gerakan ini menentang ritual yang berkaitan dengan pemujaan orang suci Muslim (wali) dan ziarah ke makam dan tempat suci mereka, yang tersebar luas di antara orang-orang Najd. Ibnu Abdul Wahhab dan para pengikutnya terinspirasi oleh ulama Hanbali abad ke-13 yang berpengaruh, Ibnu Taimiyah[22][23][24] (1263–1328 M/661–728 H) yang menyerukan untuk kembali ke kemurnian tiga generasi pertama (Salafusshalih) untuk menyingkirkan umat Islam dari perkara-perkara yang tidak autentik (bidʻah), dan menganggap karya-karyanya sebagai inti referensi ilmiah dalam teologi. Meski dipengaruhi oleh doktrin mazhab Hambali, gerakan tersebut menolak taklid kepada otoritas hukum (mazhab), termasuk ulama yang sering dikutip seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (d. 1350 C.E/ 751 A.H).[25]

Wahhabisme telah banyak digambarkan sebagai gerakan "ortodoks", "puritan(istik)", "revolusioner",[26][27][28] serta merupakan "gerakan reformasi" Islam untuk memurnikan "ibadah monoteistik murni" oleh para penganutnya. Secara sosial-politik, gerakan tersebut merupakan protes besar pertama yang dipimpin oleh Arab terhadap Turki, Kekaisaran Persia, dan bangsa asing yang mendominasi Dunia Muslim sejak Invasi Mongol dan jatuhnya Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-13; dan kemudian berfungsi sebagai dorongan revolusioner untuk pan-Arabisme abad ke-19.[29][30] Pada 1744, Ibnu ʿAbdul Wahhab membentuk pakta dengan pemimpin lokal, Muhammad bin Saud; yang menghasilkan aliansi politik-agama yang berlanjut selama 150 tahun berikutnya, yang puncak politisnya adalah proklamasi berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932. Akhirnya, gerakan tersebut muncul sebagai salah satu tren reformasi antikolonial abad ke-18 yang paling berpengaruh yang menyebar ke seluruh Dunia Muslim; menganjurkan untuk kembali ke nilai-nilai Islam yang murni berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah untuk membangkitkan kembali kekuatan sosial dan politik Muslim; dan tema-tema revolusionernya mempengaruhi banyak kebangkitan Islamis, cendekiawan, ideolog, dan aktivis pan-Islamisme dan anti-kolonial hingga Afrika Barat.[31][32]

Selama lebih dari dua abad hingga saat ini, ajaran Ibnu Abdul Wahhab diperjuangkan sebagai bentuk resmi Islam dan kredo dominan di tiga Negara Saudi. Pada 2017, perubahan kebijakan agama Saudi oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman telah menyebabkan tindakan keras yang meluas terhadap Islamis di Arab Saudi dan seluruh Dunia Arab. Pada tahun 2018, Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman, membantah bahwa ada orang yang "dapat mendefinisikan Wahhabisme ini" atau bahkan keberadaannya. Pada tahun 2021, memudarnya kekuatan para ulama yang disebabkan oleh perubahan sosial, agama, ekonomi, politik, dan kebijakan pendidikan baru yang menegaskan "identitas nasional Saudi" yang menekankan komponen non-Islam telah menghasilkan sesuatu yang dikenal sebagai "era pasca-Wahhabi" Arab Saudi.[33][34][35] Keputusan untuk merayakan "Hari Pendirian Saudi" setiap tahun pada tanggal 22 Februari sejak tahun 2022, untuk memperingati berdirinya Keamiran Dir'iyah tahun 1727 oleh Muhammad bin Saud, alih-alih memperingati sejarah sejak Pakta 1744 dari Ibnu Abdul Wahhab, telah menyebabkan Saudi "berlepas" dari para ulama secara resmi.[36][37][38][39]

Etimologi

Menurut seorang penulis berkebangsaan Saudi, Abdul Aziz Qasim dan yang lainnya, yang pertama kali memberikan julukan "Wahabi" kepada dakwah ibnu Abdul Wahhab adalah Kesultanan Utsmaniyah, kemudian bangsa Inggris mengadopsi dan menggunakannya di Timur Tengah.[40]

Penganut Wahhabiyah atau Wahabi tidak menyukai istilah yang disematkan oleh beberapa kalangan tersebut kepada mereka dan menolak penyematan nama individu, termasuk menggunakan nama seseorang untuk menamai aliran mereka.[41][42] Mereka menamakan diri dengan nama Salafi dan gerakannya dengan Salafiyah.

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabiyah) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya kalaupun harus ada faham baru yang dibawa oleh Al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.”[43][44]

Istilah "Wahabi" dan "Salafi" (serta Ahli Hadits yaitu orang-orang hadits) sering digunakan secara bergantian, tetapi Wahabi juga telah disebut sebagai "orientasi tertentu dalam Salafisme",[45] yang dianggap ultra-konservatif.[46][47] Namun dapat disimpulkan, Wahabi merupakan gerakan Islam sunni yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari ajaran-ajaran atau praktik-praktik yang menyimpang seperti: syirik, ilmu hitam, penyembahan berhala, bid'ah dan khurafat.[48]

.[49] Dakwah utama adalah Tauhid yaitu Keesaan dan Kesatuan Allah.[50] Ibnu Abdul Wahhab dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibnu Taymiyyah dan mempertanyakan interpretasi Islam dengan mengandalkan Alquran dan hadits.[50] Ia mengincar "kemerosotan moral yang dirasakan dan kelemahan politik" di Semenanjung Arab dan mengutuk penyembahan berhala, pengkultusan orang-orang suci, pemujaan kuburan orang yang saleh, dan melarang menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.[50]

Sejarah

Gerakan Wahhabi dimulai sebagai gerakan revivalis di wilayah terpencil nan gersang di Najd. Dengan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah setelah Perang Dunia I, dinasti Al Saud menjadi penyokong utama Wahhabisme, dan menyebar ke kota-kota suci Mekkah dan Madinah. Setelah penemuan minyak di dekat Teluk Persia pada tahun 1939, Kerajaan Saudi memiliki akses terhadap pendapatan ekspor minyak, pendapatan yang tumbuh hingga miliaran dollar. Uang ini - digunakan untuk menyebarkan dakwah wahhabi melalui buku, media, sekolah, universitas, masjid, beasiswa, beasiswa, pekerjaan bagi para jurnalis, akademisi dan ilmuwan Islam - hal ini memberikan Wahhabisme sebuah "posisi kekuatan yang unggul" dalam Dunia Islam global.[51]

"Wahabisme" di Indonesia

Paham wahhabi masuk pertama kali ke Indonesia pada awal abad ke-19. Hubungan antara ajaran kaum "Wahabi" dengan orang-orang Minangkabau di Sumatera Barat dimulai melalui kepulangan tiga orang haji; Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, yang baru pulang ibadah haji pada 1803.[52] Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahhabi.[53] Pengaruh itu terlihat dari penentangan terhadap praktik bid'ah, penggunaan tembakau baik untuk sirih pinang atau merokok, dan pemakaian baju sutra. Mereka usahakan pula untuk menyebarkan ajaran ini secara paksa di wilayah Minangkabau. Seperti kemudian tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad melawan kaum Muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Lawan mereka terutama adalah golongan Adat, yakni kaum bangsawan Minang yang masih menjalankan praktik-praktik yang bertentangan dengan Islam.[52] Akibatnya, perang saudara yang disebut sebagai Perang Paderi pecah di tengah masyarakat Minangkabau. Atas campur tangan pemerintah kolonial Belanda, perang Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.[52]

Dalam kaitannya terhadap penentangan terhadap takhayul, Sukarno disebutkan pernah memuji gerakan ini. Dalam salah satu tulisannya, Presiden Soekarno menyatakan pandangannya terhadap Wahabisme,

"Tjobalah pembatja renungkan sebentar "padang-pasir" dan "wahabisme" itu. Kita mengetahui djasa Wahabisme jang terbesar: ia punja kemurnian, ia punja keaslian, - murni dan asli sebagai udara padang- pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada islam dizamanja Muhammad!" Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu tahajul dan seribu satu bid'ah. Lemparkanlah djauh-djauh tahajul dan bid'ah itu, tjahkanlah segala barang sesuatu jang membawa kemusjrikan!"

— Ir. Soekarno, "Dibawah Bendera Revolusi" (Kumpulan tulisan dan pidato-pidato) jilid pertama, cetakan kedua, tahun 1963. halaman 390.

Organisasi Sunni terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, menentang wahhabisme,[54] serta menyebutnya sebagai gerakan fanatik dan paham bid'ah dalam tradisi Sunni.[54]

Kritik dan Kontroversi

Kritik dari Muslim lain

  • Pada praktiknya wahhabisme tumbuh sebagai paham yang demikian keras, kaku, ketat dan tanpa mengenal kompromi.[55] Sebagian kalangan menilai paham ini telah melampaui batas dalam menetapkan definisi sempit tentang tauhid. Pendukung wahhabi dianggap terlalu mudah menyerukan takfir, yakni memvonis sesama Muslim yang mereka tuduh sebagai sesat dan melanggar hukum Islam,[56] sebagai kafir.
  • Kesepakatan bin Saud untuk melakukan jihad guna menyebarkan ajaran Ibn Abdul Wahhab lebih berkaitan dengan praktik penyerbuan tradisional Najd - "perjuangan naluriah untuk bertahan hidup dan nafsu untuk mencari keuntungan" - ketimbang motivasi agama;[57]
  • Wahhabi tidak memiliki hubungan dengan gerakan kebangkitan Islam lainnya;[58]
  • Tidak seperti tokoh pembaharu lainnya, Abd ul-Wahhab menunjukkan sedikit kecakapan intelektual - sedikit menulis dan bahkan jarang membuat essai;[59]

Penentang awal

Orang pertama yang menentang Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ayahnya sendiri, Abdul Wahhab, dan saudaranya Salman bin Abdul Wahhab yang adalah seorang cendekiawan dan qadi terkemuka. Saudara laki-laki Ibn Abd al-Wahhab menulis sebuah buku untuk menolak ajaran baru saudaranya, yang disebut: "Kata Akhir dari Al Qur'an, Hadis, dan Ucapan cendekiawan tentang aliran Ibn 'Abd al-Wahhab" juga dikenal sebagai: "Al-Sawa`iq al-Ilahiyya fi Madhhab al-Wahhabiyya" ("Halilintar Ilahi mengenai Aliran Wahhabi").[60]

Dalam bukunya "Sanggahan terhadap Wahhabisme dalam Sumber Arab, 1745–1932",[60] Hamadi Redissi memberikan referensi asli tentang deskripsi Wahhabi sebagai sekte yang memecah belah (firqa) dan asing (Khawarij), dalam komunikasi antara ulama Usmani dan Khedive Muhammad Ali. Redissi merinci sanggahan terhadap Wahhabi oleh para cendekiawan (mufti); di antaranya Ahmed Barakat Tandatawin, yang pada tahun 1743 menyebut Wahhabisme sebagai suatu bentuk kebodohan (Jahili atau kejahilan).[60]

Tentangan Syi'ah

 
Makam Al-Baqi' yang dipercaya sebagai makam Hasan bin Ali (cucu Muhammad) dan Fatimah (putri Muhammad)

Pada tahun 1801 dan 1802, golongan Wahhabi Saudi di bawah Abdul-Aziz bin Muhammad menyerang dan merebut kota suci Syiah Karbala dan Najaf di Irak, dan menghancurkan makam Husain bin Ali, cucu Muhammad, dan Ali bin Abu Thalib, menantu Muhammad. Pada tahun 1803 dan 1804 orang-orang Saudi merebut Makkah dan Madinah dan menghancurkan berbagai makam Ahlul Bait dan para Sahabat, monumen kuno, situs dan reruntuhan Islam. Menurut Wahhabi, mereka "menghapus sejumlah dari apa yang mereka pandang sebagai sumber atau gerbang menuju perbuatan syirik - seperti makam Fatimah, putri Muhammad. Pada tahun 1998 orang Saudi membuldozer dan menuangkan bensin ke atas makam Aminah binti Wahab, ibunda Muhammad. Hal ini menuai kemarahan di seluruh Dunia Islam.[61][62][63]

Tentangan Sunni

Wahhabisme telah dikritik keras oleh banyak kalangan Muslim Sunni arus utama dan terus dikecam oleh banyak cendekiawan Sunni terkemuka tradisional karena dianggap bid'ah, "sesat dan mendorong tindakan kekerasan" dalam Islam Sunni.[64] Di antara organisasi Sunni tradisional dunia yang menentang ideologi Wahhabi adalah Al-Azhar di Kairo, anggota fakultasnya yang secara konsisten mencela Wahhabisme dengan istilah seperti "ajaran setan." Mengenai Wahhabisme, cendekiawan dan intelektual Sunni Al-Azhar yang terkenal, Muhammad Abu Zahra berkata: "Wahhabi melebih-lebihkan (dan merusak) pernyataan Ibnu Taimiyah ... Kaum Wahhabi tidak menahan diri hanya melakukan dakwah penyebaran agama, tapi secara memaksa juga melakukan penghinaan terhadap siapapun yang tidak setuju dengan mereka dengan alasan bahwa mereka melawan bid`ah, dan perbuatan bid'ah adalah kejahatan yang harus diperangi ... Kapanpun mereka bisa merebut kota, mereka akan datang ke makam dan mengubahnya menjadi reruntuhan dan kehancuran... Kebrutalan mereka tidak berhenti di situ, tapi juga muncul ke kuburan siapa pun dan menghancurkannya juga. Dan ketika penguasa daerah Hijaz menyerah kepada mereka, mereka menghancurkan semua kuburan para Sahabat dan membakarnya sampai rata dengan tanah... Sebenarnya, telah diketahui bahwa Ulama kaum Wahhabi menganggap pendapat mereka sendiri benar dan tidak mungkin salah, sementara mereka menganggap pendapat orang lain salah dan tidak mungkin benar. Lebih dari itu, mereka menganggap apa orang lain lakukan; mendirikan makam dan mengelilinginya, sebagai perbuatan yang mendekati penyembahan berhala... Dalam hal ini perbuatan mereka sangat dekat dengan kaum Khawarij, yang biasa menyatakan orang-orang yang tidak setuju dengan mereka sebagai murtad dan memerangi mereka seperti yang telah kita sebutkan."[65]

Penghancuran situs bersejarah Islam

Ajaran Wahhabi menentang "pemuliaan terhadap situs-situs bersejarah yang terkait dengan awal ajaran Islam", dengan alasan bahwa "hanya Allah yang patut disembah" dan "penghormatan terhadap situs-situs yang terkait dengan manusia menyebabkan "syirik" [66].

Akan tetapi, penghancuran bangunan diatas tersebut tidak semata mata menunjukkan bahwa sesungguhnya ziarah kubur itu dilarang, akan tetapi penghancuran tersebut bersumber kepada hadits nabi yang melarang membuat bangunan diatas makam karena dapat menimbulkan sifat ghuluw (melampaui batas)[67].

Banyak bangunan yang terkait dengan sejarah Islam awal, termasuk berbagai makam seperti Makam Al-Baqi dan artefak lainnya di Arab Saudi, telah dihancurkan oleh kaum wahhabi sejak awal abad-19 sampai kini.[68][69] Praktik penghancuran makam yang kontroversial ini telah menuai banyak kritikan dari Muslim Sufi, Syi'ah, serta dunia internasional.

Referensi

Catatan

  1. ^ Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring (KBBI VI Daring; versi pembaruan pada Oktober 2023), Wahabi adalah aliran reformasi ultrakonservatif Islam yang berkembang dari dakwah seorang teolog muslim Arab Saudi pada abad ke-18 yang bernama Muhammad bin ‘Abdul-Wahhāb.
  2. ^ Pengikut awal gerakan ini menyebut diri mereka sebagai Muwahhidūn[8][9][10] (bahasa Arab: الموحدون, har. '"orang yang mengakui keesaan Tuhan" atau "Unitarian"') berasal dari istilah Tauhid (keesaan Tuhan). Istilah "Wahabisme" juga digunakan sebagai sektarian[11][12][13][14] dan cercaan Islamofobia.[15][16][17]

Sitasi

  1. ^ Esposito 2003, hlm. 123, "Muhammad ibn Abd al-Wahhab"
  2. ^ Knowles, Elizabeth (2005). Oxford Dictionary of Phrase and the Fable (edisi ke-2nd). Oxford University Press. ISBN 9780198609810. Wahhabi.. sebuah sekte Muslim Sunni ortodoks yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–92). Ini menganjurkan kembali ke Islam awal Al-Qur'an dan Sunnah 
  3. ^ Commins 2006, hlm. vi "Apa itu Misi Wahhabi?... Pengamat netral bisa mendefinisikan misi Wahhabi sebagai gerakan reformasi agama yang diasosiasikan dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792)"
  4. ^ Kerr, Wright, Anne, Edmund (2015). A Dictionary of World History (edisi ke-3rd). Oxford University Press. ISBN 9780199685691. Wahhabism...The doctrine of an Islamic reform movement founded by Muhammad ibn ‘Abd al‐Wahhab (1703–92)... It is based on the Sunni teachings of Ibn Hanbal (780–855) 
  5. ^ Ahsan, Sayyid (1987). "Chapter – IV Foundations of the Saudi State – ll : Reforms of Muhammad Ibn 'Abd al-Wahhab". Trends in Islam in Saudi Arabia. Department of Islamic Studies, Aligarh Muslim University, Aligarh: Aligarh Muslim University. hlm. 141–142. 
  6. ^ Wagemakers, Joas (2021). "Part 3: Fundamentalisms and Extremists – The Citadel of Salafism". Dalam Cusack, Carole M.; Upal, M. Afzal. Handbook of Islamic Sects and Movements. Brill Handbooks on Contemporary Religion. 21. Leiden and Boston: Brill Publishers. hlm. 341. doi:10.1163/9789004435544_019 . ISBN 978-90-04435544. ISSN 1874-6691. 
  7. ^ Bokhari, Kamran; Senzai, Farid, ed. (2013). "Conditionalist Islamists: The Case of the Salafis". Political Islam in the Age of Democratization. New York: Palgrave Macmillan. hlm. 81–100. doi:10.1057/9781137313492_5. ISBN 978-1137313492. 
  8. ^ Bonacina, Giovanni (2015). "1:A Deistic Revolution in Arabia". The Wahhabis Seen through European Eyes (1772–1830): Deists and Puritans of Islam. Koninklijke Brill nv, Leiden, The Netherlands: Brill. hlm. 12–40. ISBN 978-90-04-29301-4. 
  9. ^ Coller, Ian (2022). Muslims and Citizens: Islam, Politics, and the French Revolution. New Haven, USA: Yale University Press. hlm. 151, 235. ISBN 978-0-300-24336-9. 
  10. ^ Bessel, Guyatt, Rendall, Richard, Nicholas, Jane; Bayley, C. A. (2010). "1: The 'Revolutionary Age' in the Wider World, c. 1790–1830". War, Empire and Slavery, 1770–1830. 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010: Palgrave Macmillan. hlm. 21–41. ISBN 978-0-230-54532-8. 
  11. ^ Commins 2006, hlm. vi, 137, 192
  12. ^ Daly Metcalf, Barbara (1982). Islamic Revival in British India: Deoband, 1860–1900. Princeton University Press. hlm. 271–72, 279. JSTOR j.ctt7zvmm2. 
  13. ^ H. Cordesman, Anthony (31 December 2002). "Saudi Arabia Enters The 21st Century: IV. Opposition and Islamic Extremism Final Review" (PDF). Center for Strategic and International Studies. hlm. 8–9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 December 2020. 
  14. ^ Reem, Abu (1 April 2007). "The Wahhabi Myth: Debunking the Bogeyman". Muslim Matters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 November 2020. 
  15. ^ Atkin, Muriel (2000). "The Rhetoric of Islamophobia". CA&C Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 September 2021. In political, as well as religious matters, any Muslim who challenges the status quo is at risk of being labeled a Wahhabi. This is how the KGB and its post-Soviet successors have used the term 
  16. ^ Khalid, Adeeb (2003). "A Secular Islam: Nation, State and Religion in Uzbekistan". International Journal of Middle East Studies. Cambridge University Press. 35 (4): 573–598. doi:10.1017/S0020743803000242. JSTOR 3879864 – via JSTOR. 
  17. ^ Knysh, Alexander (2004). "A Clear and Present Danger: "Wahhabism" as a Rhetorical Foil". Modern Asian Studies. 44 (1): 9–13. JSTOR 1571334 – via JSTOR. The use of the term to label all distasteful opponents has become so routine in post–Soviet discourse that Feliks Kulov, then Minister for National Security in Kyrgyzstan, could speak in 1997 of “foreign Wahhabi emissaries, from Iran in particular”.."People accused of being “Wahhabis” are routinely charged with treason and subversion against the state 
  18. ^ W. Brown, Daniel (2009). A New Introduction to Islam: Second Edition. Malden, MA: Wiley-Blackwell. hlm. 245. ISBN 978-1405158077. 
  19. ^ Ahmad Khan, Jones, MU'ĪNUDDĪN, Harford (March 1968). "A Diplomat's Report on Wahhabism of Arabia". Islamic Studies. 7 (1): 33–46. JSTOR 20832903. 
  20. ^ Mattar, Philip (2004). ENCYCLOPEDIA OF THE Modern Middle East & North Africa: Second Edition. Farmington Hills, MI: Thomson Gale. hlm. 1625. ISBN 0-028659872. 
  21. ^ Agoston, Masters, Gabor, Bruce (2009). Encyclopedia of the Ottoman Empire. New York: Facts on File. hlm. 587–588. ISBN 978-0816062591. 
  22. ^ DE BELLAIGUE, CHRISTOPHER (2017). "Chapter 1: Cairo". The Islamic Enlightenment: The Struggle Between Faith and Reason- 1798 to Modern Times. New York: LIVERIGHT PUBLISHING CORPORATION. hlm. 15–16. ISBN 978-0871403735. 
  23. ^ W. Hughes, Aaron (2013). "Chapter 10: Encounters with Modernity". Muslim Identities: An Introduction to Islam. New York: Columbia University Press. hlm. 235. ISBN 978-0231161473. 
  24. ^ Hoover, Jon (2019). Makers of the Muslim World: Ibn Taymiyya. London: One World Publications. hlm. 3, 11, 43, 68–69, 144. ISBN 978-1786076892. 
  25. ^ Peri Bearman; Thierry Bianquis; C Edmund Bosworth; E J Van Donzel; Wolfhart Heinrichs, ed. (2002). The Encyclopedia of Islam: New Edition Vol. XI. Leiden: Brill. hlm. 39. ISBN 90-04127569. 
  26. ^ Bonacina, Giovanni (2015). "1:A Deistic Revolution in Arabia". The Wahhabis Seen through European Eyes (1772–1830): Deists and Puritans of Islam. Koninklijke Brill nv, Leiden, The Netherlands: Brill. hlm. 12–40. ISBN 978-90-04-29301-4. 
  27. ^ Coller, Ian (2022). Muslims and Citizens: Islam, Politics, and the French Revolution. New Haven, USA: Yale University Press. hlm. 151, 235. ISBN 978-0-300-24336-9. 
  28. ^ Bessel, Guyatt, Rendall, Richard, Nicholas, Jane; Bayley, C. A. (2010). "1: The 'Revolutionary Age' in the Wider World, c. 1790–1830". War, Empire and Slavery, 1770–1830. 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010: Palgrave Macmillan. hlm. 21–41. ISBN 978-0-230-54532-8. 
  29. ^ Lewis, Bernard (1994). "5: The Revolt of Islam". The Shaping of the Modern Middle East. 198 Madison Avenue, New York: Oxford University Press. hlm. 103. ISBN 0-19-507281-2. 
  30. ^ Tibi, Bassam (1990). Arab nationalism: A Critical Enquiry. Diterjemahkan oleh Farouk Sluglett, Peter Sluglett, Marion, Peter (edisi ke-Second). London, UK: The Macmillan Press Ltd. hlm. 162. ISBN 978-1-349-20804-3. 
  31. ^ Motadel, David (2014). "Introduction". Islam and the European Empires. Great Clarendon Street, Oxford, OX2 6DP, United Kingdom: Oxford University Press. hlm. 19–20. ISBN 978-0-19-966831-1. 
  32. ^ Murzik Kobo, Ousman (2012). Unveiling Modernity in Twentieth-Century West African Islamic Reforms. Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands: Brill. hlm. 221, 277, 283–285. ISBN 978-90-04-21525-2. 
  33. ^ "Saudi Arabia seeks religious reset as clerical power wanes". Dawn. 20 June 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 June 2021. 
  34. ^ Alhussein, Eman (19 June 2019). "Saudi First: How hyper-nationalism is transforming Saudi Arabia". ECFR. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2021. 
  35. ^ Farouk, J. Brown, Yasmine, Nathan (7 June 2021). "Saudi Arabia's Religious Reforms Are Touching Nothing but Changing Everything". Carnegie Endowment for International Peace. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 June 2021. 
  36. ^ Hassan, Hassan (22 February 2022). "The 'Conscious Uncoupling' of Wahhabism and Saudi Arabia". Newlines Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 February 2022. 
  37. ^ "Saudi Arabia for first time marks its founding, downplaying conservative roots". The Economic Times. 22 February 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 February 2022 – via Reuters. 
  38. ^ "Riyadh celebrates the state's founding, downplays the role of Wahhabi Islam". Asia News. 23 February 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 March 2022. 
  39. ^ Alamer, Sultan (23 February 2022). "The Saudi 'Founding Day' and the Death of Wahhabism". AGSIW. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2022. 
  40. ^ In the US the term "Wahhabi" was used in the 1950s to refer to "puritan Muslims", according to Life magazine. "The King of Arabia". Life. 31 May 1943. p. 72. ISSN 00243019. Retrieved 22 June 2013.
  41. ^ Wiktorowicz, Quintan. "Anatomy of the Salafi Movement" in Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 29 (2006): p. 235, footnote.
  42. ^ Blanchard, Christopher M. "The Islamic Traditions of Wahhabism and Salafiyya" (PDF). Updated January 24, 2008. Congressional Research Service. Retrieved 12 March 2014.
  43. ^ Lihat Kitab Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162.
  44. ^ Sofyan Chalid: Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan, Toobagus Publishing, 2011, hal. 38.
  45. ^ GlobalSecurity.org Salafi Islam
  46. ^ Washington Post, For Conservative Muslims, Goal of Isolation a Challenge
  47. ^ John L. Esposito, What Everyone Needs to Know About Islam, p.50
  48. ^ Abu Mujahid & Haneef Oliver, Virus Wahabi, Toobagus Publishing, 2010, hal. 120 – 121.
  49. ^ Glasse, Cyril, The New Encyclopedia of Islam, Rowan & Littlefield, (2001), pp.469-472
  50. ^ a b c Esposito 2003, hlm. 333
  51. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Kepel-petro
  52. ^ a b c Indonesia, Heyder Affan Wartawan BBC. "Jejak Wahabi, dari sayap kanan hingga perang Paderi". BBC Indonesia. Diakses tanggal 2018-01-04. 
  53. ^ Azyumardi Azra (2013)). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. 
  54. ^ a b Latif, Yudi (2008). Indonesian Muslim Intelligentsia and Power. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 190. Diakses tanggal 7 March 2017. 
  55. ^ Algar, Hamid (2002). Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY: Islamic Publications International. hlm. back cover. Wahhabisme, sebuah interpretasi aneh tentang doktrin dan praktik Islam yang pertama kali muncul di Arab pada pertengahan abad kedelapan belas, kadang-kadang dianggap sebagai bentuk Islam Sunni yang ekstrem atau tanpa kompromi. 
  56. ^ Algar, Hamid (2002). Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY: Islamic Publications International. hlm. 33–34. [Algar mencantumkan beberap hal yang melibatkan syafaat dalam doa, bahwa paham Wahhabi percaya praktik itu melanggar asas tauhid al-`ibada (mengarahkan semua penyembahan hanya kepada Allah)]. Semua praktik yang diduga menyimpang dapat dibenarkan dengan referensi tradisi, konsensus, dan hadits, seperti yang telah dijelaskan oleh banyak ulama Sunni dan Syiah, yang telah membahas fenomena Wahhabisme. Jika bukan itu masalahnya, keyakinan bahwa ziyarah atau tawassul tidak bermanfaat, tidak dapat dijadikan alasan logis untuk mengutuk iman seseorang, dan mengeluarkannya dari Islam. 
  57. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Kepel-159
  58. ^ Algar, Hamid (2002). Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY: Islamic Publications International. hlm. 4–5. Adalah sebuah kesalahan jika memikirkan Wahhabisme berasal dari gerakan reformasi yang meluas di dunia Muslim, atau bahwa hal itu sesuai dengan pola umum 'pembaharuan' (tajdid) yang kemudian berlangsung di Timur Tengah, di Asia Selatan, di Afrika dan tempat lain. Semua gerakan itu sebagian besar berbeda sifatnya dari Wahhabisme, yang harus dipertimbangkan dalam konteks spesifik waktu mereka sendiri sebagai pengecualian, penyimpangan, atau paling tidak sebuah anomali. 
  59. ^ Algar, Hamid (2002). Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY: Islamic Publications International. hlm. 14–15, 17. 
  60. ^ a b c Kingdom without borders: Saudi political, religious and media frontiers. Diakses tanggal 2012-09-17. 
  61. ^ The Destruction of Holy Sites in Mecca and Medina By Irfan Ahmed in Islamic Magazine, Issue 1, July 2006
  62. ^ Nibras Kazimi, A Paladin Gears Up for War Diarsipkan 2008-03-04 di Wayback Machine., The New York Sun, November 1, 2007
  63. ^ John R Bradley, Saudi's Shi'ites walk tightrope Diarsipkan 2019-01-21 di Wayback Machine., Asia Times, March 17, 2005
  64. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama SatanicSimonValentine
  65. ^ Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyya, pp. 235-38
  66. ^ Salah Nasrawi, "Mecca's ancient heritage is under attack – Developments for pilgrims and the strict beliefs of Saudi clerics are encroaching on or eliminating Islam's holy sites in the kingdom", Los Angeles Times, September 16, 2007. Retrieved 21 December 2009.
  67. ^ Hadits, "Mengulas larangan mengistimewakan kuburan dengan mendirikan bangunan di atasnya, Salafi, April 29, 2021.
  68. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Rabasa 2004 103, note 60
  69. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama TI
  70. ^ "History of the Cemetery Of Jannat Al-Baqi". 

Bacaan lebih lanjut

Pranala luar

  NODES
INTERN 10
Note 5
todo 2