ibu kota Provinsi Sumatra Selatan, Indonesia

Palembang adalah salah satu kota besar yang ada di Indonesia dan juga ibukota dari provinsi Sumatera Selatan. Wilayah ini kental dengan nuansa budaya Melayu dan Tionghoa.

Pahami

sunting

Sejarah

sunting
 
Kampung Kapitan, salah satu pecinan tertua di Palembang

Di antara kota-kota di Indonesia atau bahkan di Asia Tenggara, Palembang merupakan salah satu yang tertua dan masih terus dihuni hingga kini (mungkin hanya kalah dari Hanoi). Kemunculan Palembang dapat ditarik kembali hingga tahun 683 M, ketika kota ini menjadi pusat kemaharajaan maritim Sriwijaya, salah satu entitas politik Buddha terbesar dan terpenting dalam sejarah Indonesia. Kota ini memainkan peran penting dalam panggung niaga dan pertukaran budaya di tingkat kawasan. Sriwijaya menguasai jalur strategis seperti Selat Malaka dan Selat Sunda, dan Palembang berfungsi sebagai bandar persinggahan (entrepôt) bagi komoditas dari dalam dan luar Nusantara. Pada saat yang sama, Palembang juga menjadi pusat pendidikan religi yang berkembang pesat, hingga mampu menarik peziarah Tiongkok untuk singgah dalam perjalanan rantau mereka ke India demi mempelajari naskah-naskah suci agama Buddha dengan para biksu dan cendekiawan setempat.

 
Menara asli Masjid Agung Palembang dari abad ke-18.

Setelah Palembang diserang oleh Chola pada awal abad ke-11, pamor kota ini mulai menurun. Palembang mengalami serangkaian perubahan kepemimpinan, sebagian besarnya di bawah pengaruh berbagai kerajaan yang berpusat di Jawa, diawali dengan kehadiran Majapahit pada abad ke-14. Pada awal abad ke-15, kota ini sempat jatuh ke tangan bajak laut Tiongkok, tetapi mereka segera ditumpas oleh Laksamana Cheng Ho, yang kemudian menunjuk seorang pejabat Tionghoa untuk memerintah kota tersebut. Pada abad ke-16, serombongan bangsawan Jawa yang menghindari perang perebutan takhta di tanah asalnya mendirikan wangsa Palembang yang baru, meskipun mereka masih mengakui kekuasaan raja dan sultan yang berpusat di Jawa secara nominal. Barulah pada pertengahan abad ke-17, para penguasa Palembang menonjolkan kemerdekaannya dengan menggunakan gelar "Sultan" secara mandiri.

Kesultanan Palembang mengendalikan perdagangan di sepanjang Sungai Musi serta pulau-pulau jiran seperti Bangka dan Belitung, mengambil untung dari ekspor komoditas lada dan timah. Kekayaan ini kemudian digunakan untuk mendirikan bangunan megah, termasuk di antaranya sebuah masjid agung serta benteng keraton yang baru. Permukiman mulai berkembang di sepanjang tepi Sungai Musi; kebanyakan warga lama menetap di sisi utara (Seberang Ilir), sementara warga rantau, termasuk orang Tionghoa dan Arab, diizinkan menetap di sisi selatan (Seberang Ulu). Kesultanan ini terus berkembang hingga awal abad ke-19, ketika perang yang melibatkan perselisihan internal serta kekuatan kolonial Inggris dan Belanda mengakhiri masa kejayaannya.

Setelah pembubaran Kesultanan pada tahun 1825, kota ini menjadi ibu kota Keresidenan Palembang, yang wilayahnya kurang lebih sama dengan Provinsi Sumatra Selatan pada saat ini. Palembang mengalami kebangkitan pada akhir abad ke-19, seiring dengan pesatnya perkembangan industri minyak bumi dan karet yang meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Palembang resmi berstatus gemeente (kotapraja) sejak tahun 1906, dan menjadi pusat urban luar Jawa terpadat di Hindia Belanda pada tahun 1930-an, mengungguli Medan dan Makassar. Tekanan dari urbanisasi yang pesat mendorong kota ini memperluas infrastrukturnya, mulai dari membangun menara air untuk kebutuhan distribusi air minum hingga mereklamasi puluhan anak sungai dan kanal untuk transportasi darat. Namun, krisis ekonomi global pada 1930-an menyebabkan mandeknya rencana pengembangan lebih lanjut.

Palembang merupakan salah satu lokasi penting selama masa Perang Pasifik (Perang Dunia II). Pasukan pendudukan Jepang merebut kota ini demi menguasai kilang minyaknya, dan Sekutu melakukan beberapa serangan bom terhadap kilang tersebut. Semasa Revolusi Nasional Indonesia, kota ini juga menjadi lokasi pertempuran besar antara pasukan republik dan pasukan Belanda pada awal tahun 1947. Setelah kemerdekaan Indonesia, Palembang meneruskan pengembangan kota ke pinggiran, menimbun jalur air dan mengutamakan jalur darat. Pembangunan Jembatan Ampera yang melintasi Sungai Musi pada 1960-an menjadi tonggak upaya "pemodernan" kota ini, karena memfasilitasi pertumbuhan urban yang menjauh dari tepi sungai, mengikuti jalan poros utara-selatan. Dewasa ini, Palembang juga dikenal dengan citranya sebagai pusat penyelenggaraan acara olahraga, dengan kiprahnya sebagai tuan rumah bersama Jakarta untuk SEA Games 2011 dan Asian Games 2018.

sunting

Dengan pesawat

sunting

1 Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II (PLM  IATA). Melayani kawasan metropolitan Palembang Raya, bandara ini terletak di sisi utara kota. Bandara ini melayani 17 rute penerbangan domestik langsung, dilayani oleh beberapa maskapai penerbangan seperti Lion Air, Citilink, Super Air Jet, Pelita Air, Batik Air, Sriwijaya Air, NAM Air, dan Garuda Indonesia, dengan tujuan Jakarta, Bali, Batam, Medan, Pangkalpinang, Surabaya, Yogyakarta. Bandara ini tidak lagi melayani penerbangan internasional sejak statusnya diturunkan menjadi bandara domestik pada 2 April 2024.    

Dengan kereta api

sunting

Kereta api adalah salah satu mode transportasi untuk mencapai kota ini. Stasiun kereta api di Palembang adalah Stasiun Kertapati. Nama kereta yang melayani kota ini adalah Bukit Serelo, Sriwijaya, Sindang Marga, dan Rajabasa.

Dengan kendaraan bermotor

sunting

Kota ini dapat dicapai dengan berkendara via beberapa rute berbeda. Jika datang dari arah Kayuagung dan Bandar Lampung, Anda dapat melintasi Jalan Tol Trans-Sumatra ruas utama (Bakter, Terpeka, Kapalbetung) dan keluar di Gerbang Tol Keramasan (~14 km dari pusat kota). Jika datang dari arah Prabumulih dan Bengkulu, Anda dapat melalui Jalan Tol Trans-Sumatra ruas pendukung (Palindra, Indraprabu) dan keluar di Gerbang Tol Palembang (~10 km dari pusat kota). Kedua ruas tol ini bersilangan di Simpang Susun Palembang. Kota juga dilalui oleh ruas jalan raya nasional Lintas Timur Sumatra (AH25), yang menghubungkannya hingga ke wilayah provinsi tetangga, yakni Lampung di selatan serta Jambi di utara. Terdapat pula jaringan jalan provinsi yang menghubungkan Palembang dengan kabupaten/kota lain di Sumatera Selatan, seperti Baturaja, Muara Enim, dan Pagar Alam.

Dengan bus

sunting

Tengara utama

sunting

  • 1 Jembatan Ampera (  LRT Ampera). Buka 24 jam. Jembatan pertama yang melintasi Sungai Musi di Palembang, serta merupakan yang terpanjang di Indonesia ketika pertama kali dibuka pada tahun 1965. Awalnya, bagian tengah jembatan ini dapat diangkat untuk memberikan jalan bagi kapal yang lewat, tetapi mekanisme ini berhenti digunakan hanya beberapa tahun setelah jembatan ini dibuka. Jembatan ini adalah tengara paling terkenal di Palembang karena terletak tepat di jantung kota, menghubungkan dua sisi Sungai Musi. Gratis.    

  • 2 Masjid Agung Palembang (Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo), Jl. Jend. Sudirman, 19 Ilir, Bukit Kecil 30111 (  LRT Ampera). Masjid besar ini pertama kali dibuka pada tahun 1748, tetapi telah mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan di kemudian hari. Bangunan dan menara aslinya dari abad ke-18 terletak di sisi barat kompleks (sisi yang jauh dari jalan utama), menampilkan campuran gaya arsitektur Melayu Palembang, Tiongkok, dan Eropa. Ruang salat tambahan dibangun di sekeliling bangunan asli dengan atap limas serta menara baru yang lebih tinggi dan ramping. Gratis.    

  • 3 Kuto Besak (Benteng Kuto Besak), Jl. Sultan Mahmud Badarudin, 19 Ilir, Bukit Kecil 30113 (  LRT Ampera). 06.00–22.00. Sebuah kubu pertahanan dari era Kesultanan di sisi utara Sungai Musi. Selesai dibangun pada tahun 1797, kini digunakan sebagai markas komando daerah TNI. Kompleks ini tertutup untuk umum karena digunakan untuk keperluan militer, meskipun sebuah plaza terbuka di depannya berfungsi sebagai alun-alun utama kota. Di plaza tersebut terdapat 4 Tugu Ikan Belido, didedikasikan untuk spesies endemik dilindungi yang dulunya menjadi bahan utama dalam pembuatan pempek. Gratis untuk kawasan plaza.    

  • 5 Kantor Wali Kota Palembang (Kantor Ledeng), Jl. Merdeka no. 2, 22 Ilir, Bukit Kecil 30113 (750 m/12 menit jalan kaki dari   LRT Ampera). Pertama kali dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20, gedung dengan pengaruh arsitektur de stijl ini awalnya berfungsi ganda sebagai menara air dan balai kota, serta menjadi gedung tertinggi di Palembang ketika pertama kali diresmikan. Saat ini digunakan utamanya sebagai kantor wali kota saja.    
  • 6 Pulau Kemaro, 1 Ilir, Ilir Timur II dan Sei Selincah, Kalidoni (30 menit berperahu motor dari dermaga Kuto Besak). Sebuah pulau delta sungai yang penggunaannya telah bergonta-ganti sepanjang sejarah, mulai dari menjadi kubu pertahanan terdepan Kesultanan pada abad ke-19, menjadi kompleks penjara untuk tahanan politik pasca-1965, hingga menjadi tujuan wisata budaya dan religius seperti sekarang. Pulau ini memiliki kompleks keagamaan Buddha yang terdiri dari 7 Kelenteng Hok Tjing Bio dan 8 Pagoda Pulau Kemaro yang memiliki 9 lantai. Perayaan Cap Go Meh tahunan di Palembang dipusatkan di sini. Selama perayaan berlangsung, sisi utara pulau akan dihubungkan sementara dengan jembatan ponton ke daratan utama.    

Museum dan situs warisan budaya

sunting
  • 9 Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), Jl. Merdeka no.1, 19 Ilir, Bukit Kecil 30113 (  LRT Ampera). 08.00–18.00. Terletak berhadapan dengan Masjid Agung, diresmikan pada tahun 1988 untuk mengenang perjuangan kemerdekaan di Palembang. Di dalam bangunan berarsitektur brutalis ini, terdapat museum yang menampilkan berbagai artefak dan foto bersejarah yang berkaitan dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang (1947). Terdapat pula air mancur menari di pelataran monumen. Rp5.000.    
  • 10 Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Jl. Sultan Mahmud Badarudin, 19 Ilir, Bukit Kecil 30113 (  LRT Ampera). 08.00–17.00 (hari biasa), 09.00–17.00 (akhir pekan dan hari libur nasional). Museum yang dikelola pemerintah kota ini berada di atas sisa-sisa Keraton Kuto Lamo, yang dulunya merupakan pusat Kesultanan sebelum dipindahkan ke Kuto Besak. Bangunan saat ini, yang mengadopsi arsitektur atap limasan khas Palembang, pernah digunakan sebagai kantor residen pada masa penjajahan Belanda. Museum ini menampilkan sejarah kota Palembang, dari era Sriwijaya hingga masa kolonial dan kemerdekaan. Rp5.000 (umum), Rp20.000 (wisatawan asing).    
  • 11 Museum Balaputradewa (Museum Negeri Sumatera Selatan), Jl. Srijaya no. 1, Srijaya, Alang-Alang Lebar 30139 (700 m/10 menit jalan kaki dari   LRT RSUD). 08.30–15.30 (Selasa–Minggu), tutup setiap Senin dan hari libur nasional. Museum ini menampilkan sejarah provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan. Artefak yang dipamerkan mencakup diorama dan megalit prasejarah hingga patung dan prasasti era Sriwijaya. Kompleks museum ini juga mencakup rumah limasan Palembang ikonik yang pernah tertera pada uang kertas pecahan Rp10.000 sebelum tahun 2016—pihak museum juga menyediakan spesimen uang kertas lama ini untuk dipinjam, jika Anda ingin mengambil foto yang membandingkan ilustrasinya dengan rumah yang asli. Rp5.000 (umum), Rp15.000 (wisatawan asing).    
  • 12 Kompleks Makam Ki Gede ing Suro, Jl. Ratu Sianum, Lorong H Umar, 1 Ilir, Ilir Timur II 30111 (5 km/20 menit berkendara dari pusat kota). Kompleks serupa candi yang terdiri dari 7 bangunan berbahan bata dan batu putih, dengan gaya seni yang menunjukkan pengaruh Majapahit dari abad ke-15 hingga ke-16 Masehi. Arca-arca perunggu berlapis emas dari masa Sriwijaya juga ditemukan di situs ini. Digunakan sebagai pemakaman Islam pada sekitar abad ke-16 oleh keluarga bangsawan Ki Gede ing Suro yang menjadi leluhur dinasti Kesultanan Palembang.
  • 13 Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Jl. Syakyakirti, Karang Anyar, Gandus 30148 (5.5 km/25 menit berkendara dari pusat kota). 08.00–18.00. Sebuah situs arkeologi bekas pemukiman kuno (dari era Sriwijaya dan seterusnya) dengan jaringan kanal buatan. Taman ini juga memiliki museum yang menampilkan artefak seperti patung Buddha, tembikar, dan keramik. Tidak ditemui struktur bangunan bersejarah di sini, karena pemukiman ini dulunya kemungkinan besar dibangun dari bahan yang mudah terurai seperti kayu alih-alih batu bata.    
  • 14 Rumah Saudagar Ong Boen Tjiet, Lorong Saudagar Yucing no. 55, 3-4 Ulu, Seberang Ulu I 30124 (10 menit berperahu motor dari dermaga Kuto Besak). 11.00–18.00. Bekas kediaman Ong Boen Tjiet, seorang pedagang terkenal Palembang pada abad ke-20 yang berlatar belakang Tionghoa-Indonesia. Menghadap Sungai Musi dari sisi selatannya, rumah ini menampilkan campuran unsur arsitektur Melayu Palembang dan Tionghoa, serta menampung koleksi yang dimiliki dan dikelola secara pribadi oleh keturunan keluarga Ong Boen Tjiet. Tempat ini juga dapat dijangkau melalui jalur darat, meskipun gang menuju rumah ini hanya muat untuk sepeda motor. Sumbangan sukarela, tidak ada tarif tetap.
  • 15 Bayt Al-Qur'an Al-Akbar, Pondok Pesantren IGM Al Ihsaniyah, Jl. M. Amin Fauzi, Soak Bujang, Gandus 30149 (14 km/40 menit berkendara dari pusat kota). Menyimpan salinan Al-Quran ukiran kayu yang diklaim terbesar di dunia; halaman demi halamannya dipamerkan dalam sebuah gedung galeri setinggi 15 meter. Ulasannya bervariasi; banyak wisatawan mengatakan bahwa tempat ini wajib dikunjungi saat berada di Palembang, sementara yang lain mengeluhkan akses ke sana yang melintasi jalan pedesaan buruk serta tiadanya akomodasi penyandang disabilitas. Rp20.000 per Februari 2020.    


  • Pempek
  • Model.
  • Tekwan
  • Mie celor
  • Pindang Ikan
  • Pepes Tempoyak
  • Nasi Minyak

Tujuan berikutnya

sunting
  • Perjalanan melalui jalan darat ke Jambi
  • Pergi ke Lampung dengan kereta api
  • Perjalanan dengan feri dari sepanjang muara Sungai Musi ke Pulau Bangka


 

Panduan perjalanan ke kota Palembang ini adalah sebuah garis besar dan perlu diisi konten lagi. Walau sudah ada kerangkanya, tapi informasinya belum memadai. Ayo berpartisipasi dan bantulah mengembangkannya!
  NODES
INTERN 2