Biksu (Sanskerta: भिक्षु, bhikṣu) atau biku (Pali: bhikkhu) adalah seorang pria yang telah ditahbiskan dalam lingkungan biara Buddhis. Kata ini sering kali dirujukkan sebagai biarawan Buddhisme.

Para biku sedang melantunkan paritta di Candi Borobudur.

Dalam bahasa sehari-hari, umat Buddha di Indonesia membedakan antara bhikṣu dengan bhikkhu karena perbedaan aliran yang dianut. Biksu, yang diserap dari bahasa Sanskerta bhikṣu, umum digunakan untuk biarawan beraliran Mahayana; sedangkan bhikkhu (bahasa Pali; KBBI: biku) umum digunakan untuk biarawan beraliran Theravāda. Sapaan yang digunakan sebagai bentuk penghormatan adalah Bhante untuk biarawan Theravāda; dan Suhu atau Shifu (Hanzi sederhana: 师傅 atau 师父; Hanzi tradisional: 師傅 atau 師父), yang berarti guru atau master, untuk biarawan Mahayana. Ada pendapat bahwa istilah biksu dan bhikkhu boleh digunakan tanpa memandang aliran karena dua istilah itu netral, namun pendapat ini tidak begitu populer.

Para biksu tergabung sebagai anggota Saṅgha. Kehidupan semua monastik Buddhis diatur oleh seperangkat aturan yang disebut pratimokṣa (Sanskerta) atau pāṭimokkha (Pāli).[1] Gaya hidup mereka dibentuk untuk mendukung latihan spiritual mereka: melaksanakan sila vinaya, menjalani kehidupan yang sederhana dan meditatif serta mencapai Nirwana.[2]

Definisi

sunting

Arti harfiah biksu adalah "peminta-minta" atau "orang yang hidup dari derma".[3] Sesudah meninggalkan kedudukan dan kesejahteraannya, Pangeran Siddhattha menjadi seorang peminta-minta derma sebagai bagian dari gaya hidup sramana yang dijalaninya. Gaya hidup ini juga diadopsi murid-muridnya yang meninggalkan kehidupan berumah tangga demi dapat senantiasa mendampingi dan berguru kepadanya. Murid-murid semacam inilah yang menjadi cikal bakal Saṅgha, persamuan rahib-rahib tertahbis yang berkelana sepanjang tahun dari kota ke kota, hidup dari derma, dan hanya berhenti di satu tempat selama warsa, yakni bulan-bulan penghujan atau musim hujan.

Menurut kitab komentar Dhammapada yang disusun Buddhaghosa, biksu adalah "orang yang awas akan bahaya [di dalam saṁsara atau tumimbal-lahir]." Itulah sebabnya ia minta ditahbiskan, agar kondusif dalam usahanya mencapai Nibbāna.[4] Dhammapada menegaskan sebagai berikut:[5]

[266-267] Dia bukan seorang biksu semata-mata lantaran hidup dari derma orang lain. Bukan dengan mengubah tampilan jasmaniah seseorang menjadi biksu sejati. Barang siapa di sini (yang dikecualikan) hidup suci, melampaui jasa dan papa, dan melangkah dengan pengertian di dunia ini — dialah yang sesungguhnya disebut seorang biksu.

Sang Buddha membenarkan perempuan menjadi biksuni sesudah Mahāpajāpatī Gotamīdengan beberapa kaum perempuan lainnya datang menemui-Nya di Vesāli dengan tujuan meminta untuk ditahbiskan. Sang Buddha meminta kesediaan ibu tiri-Nya itu untuk menaati Delapan Garudhamma. Mahāpajāpatī Gotamī pun menyatakan kesediaannya dan mendapatkan status sebagai biksuni yang pertama di dunia. Setelah Mahāpajāpatī Gotamī, perempuan yang ingin menjadi biksuni harus menjalani upacara penahbisan lengkap.[6]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "The Buddhist World: Lay Buddhist's Guide to the Monk's Rules". www-buddhanet-net.translate.goog. Diakses tanggal 2023-05-26. 
  2. ^ "The condition of the monk (bhikkhu) in Theravāda Buddhism". en-dhammadana-org.translate.goog. Diakses tanggal 2023-05-26. 
  3. ^ Buddhist Dictionary, Manual of Buddhist Terms and Doctrines oleh Nyanatiloka Mahathera.
  4. ^ "Resources: Monastic Vows". Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Oktober 2014. Diakses tanggal 2010-11-08. 
  5. ^ Buddharakkhita, Acharya. "Dhammapada XIX — Dhammatthavagga: The Just". Access To Insight. Diakses tanggal 18 Desember 2012. 
  6. ^ "Life of Buddha: Maha Pajapati Gotami - Order of Nuns (Bagian 2)". www.buddhanet.net. 


  NODES
Done 3