Jalan Braga

jalan raya di Bandung, Indonesia

Jalan Braga (aksara Sunda: ᮏᮜᮔ᮪ ᮘᮢᮌ, tetapi di papan nama jalan tertulis ᮏ᮪ᮜ᮪ ᮘᮢᮌ) adalah nama sebuah jalan utama di kota Bandung, Indonesia. Nama jalan ini cukup dikenal sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.

Jalan Braga
Papan nama Jalan Braga dengan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dengan aksara Sunda baku.
Nama lokal ᮏᮜᮔ᮪ ᮘᮢᮌ  (Sunda)
Dinisbatkan kepada Pedati Weg
Tipe Jalan protokol
Panjang 850 m (2.790 ft)
Lebar 7,5 m (25 ft)
Lokasi Kota Bandung, Indonesia
Koordinat 6°55′12″S 107°36′34″E / 6.919883°S 107.609388°E / -6.919883; 107.609388
Lain-lain
Status Jalan Kota

Sampai saat ini nama jalan tersebut tetap dipertahankan sebagai salah satu maskot dan objek wisata kota Bandung yang dahulu dikenal sebagai Parijs van Java.

Lingkungan

sunting

Di sisi kanan kiri Jalan Braga terdapat komplek toko yang memiliki arsitektur dan tata kota yang tetap mempertahankan ciri arsitektur kuno pada masa Hindia Belanda. Tata letak pertokoan tersebut mengikuti model yang ada di Eropa sesuai dengan perkembangan kota Bandung pada masa itu (1920-1940an) sebagai kota mode yang cukup termasyhur seperti halnya kota Paris pada saat itu. Di antara pertokoan tersebut yang masih mempertahankan ciri arsitektur lama adalah pertokoan Sarinah, Apotek Kimia Farma dan Gedung Merdeka (Gedung Asia Afrika yang dulunya adalah gedung Societeit Concordia). Model tata letak jalan dan gedung gedung pertokoan dan perkantoran yang berada di Jalan Braga juga terlihat pada model jalan-jalan lain di sekitar Jalan Braga seperti Jalan Suniaraja (dulu dikenal sebagai Jalan Parapatan Pompa) dan Jalan Pos Besar (Postweg)('sekarang Jalan Asia-Afrika') yang dibangun oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels pada tahun 1811, di depan Gedung Merdeka.

Sejarah

sunting
 
J. R. de Vries & Co. di Jalan Braga, supermarket pertama di Bandung (1880)

Awalnya Jalan Braga adalah sebuah jalan kecil di depan pemukiman yang cukup sunyi sehingga dinamakan Jalan Culik[a] karena cukup rawan, juga dikenal sebagai Jalan Pedati (Pedatiweg) pada tahun 1900-an. Jalan Braga menjadi ramai karena banyak usahawan-usahawan terutama berkebangsaan Belanda mendirikan toko-toko, bar dan tempat hiburan di kawasan itu seperti toko Onderling Belang. Kemudian pada dasawarsa 1920-1930-an muncul toko-toko dan butik (boutique) pakaian yang mengambil model di kota Paris, Prancis yang saat itu merupakan kiblat model pakaian di dunia. Dibangunnya gedung Societeit Concordia yang digunakan untuk pertemuan para warga Bandung khususnya kalangan tuan-tuan hartawan, Hotel Savoy Homann, gedung perkantoran dan lain-lain di beberapa blok di sekitar jalan ini juga meningkatkan kemasyhuran dan keramaian jalan ini.

Namun sisi buruknya adalah munculnya hiburan-hiburan malam dan kawasan lampu merah (kawasan remang-remang) di kawasan ini yang membuat Jalan Braga sangat dikenal turis. Dari sinilah istilah kota Bandung sebagai kota kembang mulai dikenal. Sehingga perhimpunan masyarakat Bandung saat itu membuat selebaran dan pengumuman bertuliskan:

"Para Tuan-tuan Turis sebaiknya tidak mengunjungi Bandung apabila tidak membawa istri atau meninggalkan istri di rumah".

Di beberapa daerah dan kota-kota yang berdiri serta berkembang pada masa Hindia Belanda, juga dikenal nama jalan-jalan yang dikenal seperti halnya Jalan Braga di Bandung seperti Jalan Kayoetangan di kota Malang yang juga cukup termasyhur dikalangan para Turis terutama dari negeri Belanda juga Jalan Malioboro di Yogyakarta dan beberapa ruas jalan di Jakarta. Namun sayangnya nama asli jalan ini tidak dipertahankan atau diubah dari nama sebelumnya yang dianggap populer seperti halnya Jalan Kayoetangan di kota Malang diganti menjadi Jalan Basuki Rahmat.[b]

Budaya Populer

sunting

Nano Suratno, seniman Sunda asal Garut menciptakan lagu berbahasa Sunda dengan judul "Jalan Braga". Lagu tersebut dinyanyikan oleh penyanyi Hetty Koes Endang pada 1988.

Galeri

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Awalnya jalan Braga dinamai Jalan Culik dengan alasan rawan adanya Penculikan.
  2. ^ Jalan Kayoetangan diubah menjadi Jalan Basuki Rahmat.

Pranala luar

sunting
  NODES