John Locke

Bapak Liberalisme

John Locke (29 Agustus 1632 – 28 Oktober 1704) adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal.[2] Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting pada era Pencerahan.[3][4] Selain itu, Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes (post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu.[4][5][6] Kemudian Locke juga menekankan pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[6]

John Locke
Potret Locke pada tahun 1697 oleh Godfrey Kneller
Lahir29 Agustus 1632
Wrington, Somerset, Inggris
Meninggal28 Oktober 1704
Essex, Inggris
EraFilsafat Modern
KawasanFilsuf Barat
AliranEmpirisme Inggris, Kontrak Sosial, Hukum Alam
Minat utama
Metafisika, Epistemologi, Filsafat Politik, Pendidikan
Gagasan penting
Tabula rasa, keadaan alamiah; hak-hak dasariah, kebebasan and hak milik
Memengaruhi
Tanda tangan

Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.[7]

Tulisan-tulisan Locke tidak hanya berhubungan dengan filsafat, tetapi juga tentang pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis.[3] Karya-karya Locke yang terpenting adalah "Esai tentang Pemahaman Manusia" (Essay Concerning Human Understanding), "Tulisan-Tulisan tentang Toleransi" (Letters of Toleration), dan "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two Treatises of Government).[3][8][9]

Biografi

sunting

John Locke dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1632 di Wrington, Somerset.[6][10] Keluarganya berasal dari kelas menengah dan ayahnya memiliki beberapa rumah dan tanah di sekitar Pensford, sebuah kota kecil di bagian selatan Bristol.[10] Selain bekerja sebagai pemilik tanah, ayah Locke bekerja juga sebagai pengacara dan melakukan tugas-tugas administratif di pemerintahan lokal.[6][10]

Pada tahun 1647, Locke belajar di Sekolah Westminster, yang pada waktu itu merupakan sekolah terkenal di Inggris.[6][10] Pendidikan di sana berpusat pada pelajaran bahasa-bahasa kuno, yaitu pertama-tama bahasa Latin, kemudian bahasa Yunani, dan juga bahasa Ibrani.[10] Setelah itu, pada tahun 1652, Locke mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Sekolah Gereja Kristus (Christ Church), Oxford, dan tinggal di sana sejak bulan Mei 1652.[6][10]

Di sekolah itu, Locke kurang menyukai metode skolastik dalam berdebat dan juga tema-tema metafisika dan logika.[6][10] Karena itu, Locke tidak mendapatkan nilai yang mengesankan ketika ia mendapatkan gelar hingga strata dua.[10] Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca karya-karya sastra, seperti drama, roman, dan sebagainya.[10]

Setelah itu, Locke mulai menyenangi bidang medis, sebagaimana tertulis di dalam beberapa catatan pribadi Locke yang ditulis pada periode akhir dekade 1650-an.[10] Ia membuat banyak catatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.[10]

Melalui minatnya dalam bidang medis, Locke mulai meminati filsafat alam sejak tahun 1658.[10] Pada awal tahun 1660, ia berjumpa dengan Robert Boyle yang akan banyak memengaruhinya kelak.[6][10] Sejak tahun 1660, Locke menambah minatnya dengan membaca filsafat mekanis yang baru muncul, yang dimulai dengan membaca karya Boyle.[10] Selain itu, ia juga mulai rajin membaca karya-karya Descartes.[10]

Perhatian Locke pada waktu-waktu ini tidak terbatas pada bidang medis dan filsafat alam saja, namun juga kepada bidang politik.[10] Situasi politik di Inggris pada waktu itu memang sedang bergejolak.[10] Cromwell, yang pada waktu itu telah mengubah sistem politik Inggris, meninggal pada tahun 1658 sehingga terjadi perubahan lagi di bawah pemerintahan Raja Charles II.[10] Charles II menghendaki pemerintahan yang dengan kuat menguasai negara dan gereja Inggris, dan Locke pada waktu itu mendukung pemerintahan Charles II.[10] Pada bulan November hingga Desember 1660, ia membuat suatu karangan singkat untuk menanggapi pandangan Edward Bagshaw, yang menegaskan perlunya hakim sipil dalam menentukan bentuk-bentuk ibadah keagamaan.[10] Kemudian pada tahun 1661-1662, Locke menulis dua karya lagi dalam bahasa Latin.[10] Karya pertama menegaskan lagi tesis yang dipakai untuk melawan argumentasi Bagshaw, dan karya kedua berisi penolakan terhadap posisi Gereja Katolik Roma yang menyatakan Alkitab perlu ditafsir tanpa ada kesalahan melalui lembaga magisterium.[10] Di sini, Locke menggunakan teologi Gereja Anglikan dalam mempertahankan pendapatnya.[10]

Pada tahun 1661, Locke diangkat menjadi dosen di sekolah Gereja Kristus tempatnya belajar dulu.[6][10] Ia mengajar bahasa Yunani dan bahasa Latin.[6][10] Kemudian pada tahun 1664, ia menjadi petugas sensor dalam bidang filsafat moral.[6][10] Selama periode ini, Locke melanjutkan minatnya pada bidang pengobatan dan filsafat alam.[10] Kemudian Locke belajar kepada Thomas Willis selama tahun 1661-1662 dan mempelajari kimia pada tahun 1663 dari Boyle.[10] Selain itu, Locke juga membantu penelitian-penelitian yang mereka lakukan.[10]

Pada tahun 1665, Locke mendapat kesempatan untuk menjadi sekretaris Walter Vane yang bertugas melakukan misi diplomatik ke beberapa negara.[6][10] Locke meninggalkan Inggris pada bulan November dan kembali pada bulan Februari.[10] Melalui surat yang dikirimnya, tampak bahwa Locke menikmati kunjungan luar negeri pertamanya itu.[10] Setelah itu, Locke ditawarkan pekerjaan menjadi sekretaris untuk pekerjaan diplomasi ke Spanyol, tetapi ia menolak.[6][10] Sekembalinya Locke ke Oxford, ia melanjutkan studinya dalam bidang kimia dan fisiologi.[10]

Pada tahun 1666, Locke bertemu dengan Lord Ashley yang di kemudian hari membuat perubahan besar dalam hidup Locke.[10] Pada tahun 1667, Locke pindah dari Oxford menuju London untuk bekerja di rumah Lord Ashley.[3][6][10] Locke tinggal di sini selama delapan tahun.[10] Selama di London, Locke juga membaca buku-buku pengobatan, namun di situ ia mendapatkan pengalaman langsung dalam soal-soal klinis karena ia menjadi asisten dari Thomas Sydenham yang adalah seorang dokter.[6][10] Locke menemani Sydenham dalam perjalanan-perjalanannya dan juga membuat catatan-catatan tentang soal-soal kesehatan.[10] Di sini, Locke membuat catatan yang akhirnya dibukukan dengan judul De Arte Medica, yang di dalamnya mepakai pendekatan empiris.[10]

Pada tahun 1668, Lord Ashley mengalami gangguan kesehatan yang cukup parah.[10] Locke melakukan operasi terhadap liver Lord Ashley dan keadaannya semakin membaik.[10] Karena itu, Lord Ashley menganggap Locke sebagai penyelamat hidupnya.[10] Setelah itu, untuk mendukung studi Locke dalam bidang kimia, Lord Ashley menyediakan laboratorium di rumahnya.[10]

Selain meningkatkan kemampuan dalam bidang kesehatan dengan praktik langsung bersama Sydenham, perkenalan Locke dengan Lord Ashley juga menambah pengalaman Locke dalam bidang politik.[10] Setahun setelah datang ke London, Locke menulis "Esai tentang Toleransi" yang isinya amat berbeda dengan dua karya yang ia tulis pada tahun 1660-1662.[10] Pada tahun 1669, Lord Ashley melibatkan Locke dalam urusan pendirian koloni baru di Carolina, khususnya dalam membuat konstitusi Carolina.[6][10] Locke menjalani tugasnya dalam membantu Lord Ashley hingga ia meninggalkan Inggris menuju Prancis pada tahun 1675.[6][10]

Di Prancis

sunting

Hingga tahun 1670, Locke belum dapat dikatakan sebagai seorang filsuf.[10] Akan tetapi, ia mulai mengorganisir suatu pertemuan dengan beberapa temannya untuk berdiskusi mengenai topik-topik tertentu.[10] Ada tulisan tentang epistemologi yang ditulis pada tahun 1671 berdasarkan diskusi-diskusi yang dilakukan Locke.[10]

Selama tahun 1672 hingga 1675, kebanyakan waktu Locke dipakai untuk mengerjakan tugas-tugas administratif.[10] Pada bulan Maret 1672, Lord Ashley diangkat sebagai earl dari Shaftesbury dan Locke tetap membantunya hingga Lord Ashley keluar dari jabatan tersebut pada tahun 1673.[10] Pada bulan November 1675, tugas Locke usai dan Locke pergi ke Prancis.[6] Locke tinggal di sana selama kurang lebih tiga setengah tahun.[10] Pada tanggal 4 Januari 1676, Locke tiba di Montpellier, di mana ia tinggal selama setahun.[10] Ia berteman dengan dua dokter Protestan yang bernama Charles Barbeyrac dan Pierre Magnol, serta seorang filsuf Cartesian, Sylvain Regis, yang menjadi guru bahasa Prancis bagi Locke.[10] Setelah mempelajari bahasa Prancis, Locke mulai membaca buku-buku dalam bahasa Prancis.[10]

Selama di Montpellier, Locke meneruskan pembelajarannya dalam bidang filsafat, sebagaimana tertulis di dalam jurnal pribadinya.[10] Bulan Februari 1677, Locke meninggalkan Montpellier dan menuju Paris.[10] Ia bermukim sebentar di Paris lalu pergi ke beberapa tempat hingga tahun 1678 kembali ke Inggris.[10]

Kembali ke Inggris dan pergi ke Belanda

sunting

Ketika Locke memutuskan kembali ke Inggris pada bulan Mei 1679, situasi politik Inggris sedang mengalami krisis.[6] Terdapat rumor yang menyatakan akan terjadinya pembunuhan terhadap Raja Charles II untuk digantikan dengan saudaranya, James, yang beragama Katolik.[10] Selama empat tahun berikutnya, hingga Locke melarikan diri ke Belanda untuk mencari suaka politik, Locke memusatkan perhatian kepada politik.[10] Hal itu disebabkan Lord Ashley, yang merupakan sahabat Locke, adalah salah satu pemimpin kaum yang anti terhadap pemerintahan Raja Charles II.[10]

Raja Charles II melihat Lord Ashley sebagai musuhnya yang amat berbahaya dan ingin membunuhnya, namun beberapa kali usahanya gagal.[10] Hal itu mendorong Lord Ashley untuk melarikan diri dari Inggris menuju Belanda pada akhir tahun 1682 dan meninggal di Belanda pada bulan Januari 1683.[6][10] Kehidupan Locke di Inggris turut terancam karena gerakan-gerakan dari kaum anti pemerintahan Charles II masih terus ada sehingga ia terus dicurigai sebagai pengkhianat oleh pemerintah.[10] Akhirnya, Locke meninggalkan Inggris pada tahun 1683 dan menuju Rotterdam, Belanda.[3][6][10]

Buku Locke yang terkenal berjudul "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" ditulis ketika Locke berada di Belanda.[6][10] Tentu saja proses penulisan buku itu telah dimulai sebelumnya.[10] Di dalam karya ini, Locke memberikan kritik terhadap buku "Patriarcha" karangan Robert Filmer karena Filmer menganjurkan monarki absolut.[3][10]

Buku tersebut bukan satu-satunya karya Locke dalam bidang politik pada periode ini.[10] Pada periode ini, Locke juga berpolemik dengan Edward Stillingfleet, yang menulis buku untuk menyerang kaum Protestan Inggris yang tidak mau menerima Gereja Anglikan.[10] Jikalau pada tahun 1660-1662 Locke pernah berdebat untuk membela Gereja Anglikan, kini justru Locke menyanggah posisi Gereja Anglikan.[10] Locke menulis karya yang menyanggah buku Stillingfleet bersama dengan seorang teman dari Oxford yang bernama James Tyrrell.[10]

Di Belanda, Locke melakukan kontak kepada beberapa politikus Inggris yang sedang melarikan diri juga.[10] Pada tahun 1684, nama Locke tercantum di dalam daftar pencarian orang dari pemerintahan Belanda sehingga Locke harus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat hingga bulan Mei 1685.[10] Di sinilah Locke menyelesaikan karya terpenting lainnya, "Essay tentang Pemahaman Manusia", yang mana ia kirim salinannya ke Inggris pada tahun 1686 dengan amat hati-hati.[10] Pada akhir tahun 1686, naskah-naskah dari tulisan itu hampir selesai dan menyerupai bentuk akhir yang ada saat ini.[10]

Dalam mengerjakan buku tersebut, Locke sempat terinterupsi karena pekerjaannya dalam menulis karya lain, "Surat Perihal Toleransi".[6][10] Karya itu dikerjakan selama tahun 1685 hingga 1686 di Amsterdam.[10] Locke memang telah lama bergumul soal toleransi agama sesuai konteks politik Inggris, namun dorongan langsung terhadap pembuatan karya itu adalah pencabutan kembali Maklumat Nantes pada bulan Oktober 1685.[10] Pemilihan bahasa Latin dalam karya itu menunjukkan bahwa karya itu ditujukan Locke kepada pembaca Eropa secara luas.[10] Karya itu terbit pada bulan Mei 1689, setelah Locke kembali ke Inggris, dan diterbitkan secara anonim.[6][10]

Kembali ke Inggris pada periode pemerintahan William dari Orange

sunting
 
John Locke pada tahun 1697

Situasi politik Inggris kembali berubah ketika William dari Orange berhasil menjadi pemimpin Inggris dan menyebabkan James II harus melarikan diri dari Inggris.[10] Locke kini dapat pulang dengan tenang ke Inggris pada bulan Februari 1689, bahkan ditawari posisi sebagai diplomat namun ia menolak karena alasan kesehatan.[3][6][10]

Pada tahun 1689, Locke bertemu dan menjalin hubungan dengan Newton.[10] Locke menjadi salah satu pembaca pertama dari "Principia", karya penting Newton.[10] Keduanya juga sering bertemu untuk berdiskusi dan mengirim surat untuk membahas topik-topik tertentu.[10] Topik yang menjadi minat utama mereka berdua bukanlah ilmu alam tetapi penafsiran Alkitab.[10]

Setelah bukunya "Essay tentang Pemahaman Manusia" terbit, ia segera mempersiapkan revisi dari buku itu dan juga buku "Dua Tulisan tentang Pemerintahan".[10] Selain itu, buku "Surat-Surat Perihal Toleransi" juga sedang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh William Popple.[10] Setelah diterbitkan pada bulan Oktober 1689, buku itu terjual keras dan menimbulkan beragam reaksi.[10] Salah satu yang menanggapi buku itu dengan keras adalah Jonas Proast pada tahun 1690 dan ditanggapi kembali oleh Locke pada tahun yang sama.[10] Akan tetapi, identitas Locke tetap menjadi rahasia.[10] Perdebatan mereka berlanjut hingga Juni 1692 ketika Locke menulis "Surat Ketiga tentang Toleransi", dan Proast tidak menanggapi lagi.[10]

Setelah Locke kembali ke Inggris, Locke menetap beberapa waktu di London.[10] Ia kehilangan posisinya di Sekolah Gereja Kristus dan tidak pernah berusaha mengambilnya kembali.[10] Pada awal tahun 1691, ia diundang untuk tinggal di Oates, Essex bagian utara, yang merupakan kediaman Francis Masham.[10] Istri Masham, Damaris, adalah anak dari Ralph Cudworth dan merupakan teman diskusi Locke melalui surat selama bertahun-tahun.[10] Akhirnya, Oates menjadi kediaman Locke sepanjang sisa hidupnya, meski pada dekade 1690-an, Locke sempat tinggal di London karena beberapa urusannya di pemerintahan.[10]

Setelah itu, Locke berupaya menyelesaikan karya lainnya dalam bidang pendidikan, "Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan".[10] Karya itu dipublikasikan pada bulan Juli 1693 dan edisi baru berisi penambahan materi terbit dua tahun kemudian.[10]

Pada tahun 1695, Locke menerbitkan lagi tulisan yang berjudul "Kerasionalan Agama Kristen" (The Reasonableness of Christianity).[10] Sebagaimana "Surat-Surat tentang Toleransi", karya ini juga diterbitkan secara anonim dan segera menimbulkan kontroversi.[10] Kontroversi itu muncul karena pemikiran-pemikiran Locke di dalam buku itu dinilai terlalu melemahkan agama Kristen.[10] Lawan polemik Locke kali ini adalah John Edwards, dan polemik mereka berdua terjadi hingga tahun 1697.[10]

Pada bulan-bulan awal tahun 1696, Locke menghabiskan waktunya untuk beristirahat di Oates.[10] Pada bulan Juni, ia mulai melakukan pekerjaannya untuk pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi dan koloni-koloni Inggris, selama empat tahun berikutnya.[10] Selain mengurus masalah-masalah negara, Locke pada periode ini juga berpolemik dengan Edward Stillingfleet, seorang uskup Gereja Anglikan.[6][10] Polemik mereka berlangsung dari bulan November 1696 hingga akhir tahun 1698 ketika kesehatan Stillingfleet menurun dan tidak memungkinkannya menanggapi pandangan Locke lagi.[10]

Akhir hidup

sunting

Pada bulan Juni 1700, Locke pensiun dari pekerjaannya di pemerintahan.[10] Ia menjalani sisa kehidupannya selama 4 tahun dengan tenang dan tidak terlalu sering mengunjungi London.[10] Meskipun demikian, Locke masih mengerjakan tulisan lainnya yang berjudul "Parafrase dan Catatan terhadap Surat-Surat Rasul Paulus" (Paraphrase and Notes on the Epistles of St Paul).[10] Karya ini menyatakan kedalaman karakter religius dari pemikiran Locke.[10]

Kesehatan Locke makin menurun dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya dan ia menderita penyakit asma.[10] Kunjungan terakhirnya ke London pada bulan Januari 1698 karena dipanggil oleh Raja William III membuat kesehatannya semakin buruk.[10]

Bulan-bulan akhir tahun 1704 merupakan saat-saat terakhir kehidupannya.[6][10] Ia meninggal tanggal 28 Oktober 1704 dan dikuburkan di High Laver.[6][10]

Pemikiran

sunting

Tentang pengetahuan

sunting
 
Sampul depan buku "Essay tentang Pemahaman Manusia".

Salah satu pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Ia berupaya menjelaskan bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuannya.[11] Menurut Locke,[2][8][12] seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah posisi empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia. Meskipun demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau masih kosong. Situasi tersebut diibaratkan Locke seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.

Ragam pengalaman Manusia

sunting

Lebih lanjut, Locke menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense atau reflection).[8][12] Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia.[8] Kemudian pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya.[8] Kedua bentuk pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya.[8]

Proses manusia mendapatkan pengetahuan

sunting

Dari perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris.[8][12] Ada empat jenis pandangan sederhana:[8]

  1. Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja. Misalnya, warna diterima oleh mata, dan bunyi diterima oleh telinga.
  2. Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan gerak.
  3. Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, misalnya ingatan.
  4. Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Misalnya, rasa tertarik, rasa heran, dan waktu.

Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, rasio atau pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi.[12] Setelah pandangan-pandangan sederhana ini tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks' (complex ideas).[8][12] Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut.[8] Ada tiga jenis pandangan kompleks yang terbentuk:[8][12]

  1. substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, misalnya pengetahuan tentang manusia atau tumbuhan.
  2. modi (cara mengada suatu hal) atau pandangan kompleks yang keberadaannya bergantung kepada substansi. Misalnya, siang adalah modus dari hari.
  3. hubungan sebab-akibat (kausalitas). Misalnya saja, pandangan kausalitas dalam pernyataan: "air mendidih karena dipanaskan hingga suhu 100° Celcius".

Tentang negara

sunting
 
Sampul depan buku "Dua Tulisan tentang Pemerintahan".

Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two Treatises of Civil Government).[8] Ia menjelaskan pandangannya itu dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan masyarakat.[8] Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).[8]

Tahap keadaan alamiah

sunting

Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan masyarakat.[8] Konsep Locke ini serupa dengan pemikiran Hobbes namun bila Hobbes menyatakan keadaan alamiah sebagai keadaan "perang semua lawan semua", maka Locke berbeda.[8][12] Menurut Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat manusia adalah situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama.[8][12] Dalam keadaan ini, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang lain.[12] Meskipun masing-masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan.[12] Yang dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain.[8] Dengan demikian, Locke menyebut ada hak-hak dasariah yang terikat di dalam kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Allah.[8] Konsep ini serupa dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam masyarakat modern.[8]

Tahap keadaan perang

sunting

Tahap kedua adalah keadaan perang.[8] Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah.[8] Penyebab utamanya adalah terciptanya uang.[8] Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing.[8] Ketidaksamaan harta kekayaan membuat manusia mengenal status tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status yang hierarkis lainnya.[8] Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan bersaing.[8][12] Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri.[12] Keadaan alamiah yang harmonis dan penuh damai tersebut kemudian berubah menjadi keadaan perang yang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan.[8] Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang.[8]

Tahap terbentuknya negara

sunting

Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan "perjanjian asal" atau yang sering disebut dengan istilah kontrak sosial.[8][12] Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth).[8] Dengan demikian, tujuan berdirinya negara bukanlah untuk menciptakan kesamarataan setiap orang, melainkan untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut.[8]

Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada negara.[8] Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan.[8] Ajaran Locke ini menimbulkan dua konsekuensi:[8]

  1. Kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan tidak mutlak sebab kekuasaannya berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya. Jadi, negara hanya dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan masyarakat terhadapnya.
  2. Tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga, terutama hak warga atas harta miliknya. Untuk tujuan inilah, warga bersedia melepaskan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang diancam bahaya perang untuk bersatu di dalam negara.

Dengan demikian, Locke menentang pandangan Hobbes tentang kekuasaan negara yang absolut dan mengatasi semua warga negara.[12]

Pembatasan kekuasaan negara

sunting

Negara di dalam pandangan Locke dibatasi oleh warga masyarakat yang merupakan pembuatnya.[8] Untuk itu, sistem negara perlu dibangun dengan adanya pembatasan kekuasaan negara, dan bentuk pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara.[8] Cara pertama adalah dengan membentuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang ditentukan oleh Parlemen berdasarkan prinsip mayoritas.[8] Cara kedua adalah adanya pembagian kekuasaan dalam tiga unsur: legistlatif, eksekutif, dan federatif.[12]

Unsur legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan merupakan kekuasaan tertinggi.[8] Kekuasaan ini dijalankan oleh Parlemen yang mewakili golongan kaya dan kaum bangsawan sebab mereka, dengan kekayaannya, paling banyak menyumbangkan sesuatu kepada negara.[8] Dalam membuat undang-undang, kekuasaan legislatif terikat kepada tuntutan hukum alam yaitu keharusan menghormati hak-hak dasar manusia.[8] Unsur eksekutif adalah pemerintah yang melaksanakan undang-undang, yaitu raja dan para bawahannya.[8] Terakhir, unsur federatif adalah kekuasaan yang mengatur masalah-masalah bilateral, seperti mengadakan perjanjian damai, kesepakatan kerja sama, atau menyatakan perang.[8] Menurut Locke, kekuasaan federatif dapat dipegang oleh pihak eksekutif, di mana dalam keadaan darurat pihak eksekutif dapat mengambil tindakan yang melampaui wewenang hukum yang dimilikinya.[8]

Di dalam sistem kenegaraan Locke di atas, tetap ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang berkuasa atas rakyat.[8] Oleh karena itu, menurut Locke, rakyat memiliki hak untuk mengadakan perlawanan dan menyingkirkan pihak eksekutif dengan kekerasan bila mereka telah bertindak di luar wewenang mereka.[8] Di sini, rakyat merebut kembali hak yang telah mereka berikan.[8]

Tentang hubungan agama dan negara

sunting
 
Tulisan Locke yang berjudul "Surat-Surat mengenai Toleransi".

Pandangan Locke lain yang penting dan masih berhubungan dengan konsep negara adalah mengenai hubungan antara agama dan negara.[8] Pemikiran Locke mengenai hal ini terdapat di dalam tulisannya yang berjudul 'Surat-Surat Mengenai Toleransi' (Letters of Toleration).[8] Locke menyatakan bahwa perlu ada pemisahan tegas antara urusan agama dan urusan negara sebab tujuan masing-masing sudah berbeda.[8] Negara tidak boleh menganut agama apapun, apalagi jika membatasi atau meniadakan suatu agama.[12] Tujuan negara adalah melindungi hak-hak dasar warganya di dunia ini sedangkan tujuan agama adalah mengusahakan keselamatan jiwa manusia untuk kehidupan abadi di akhirat kelak setelah kematian.[8] Jadi, negara berfungsi untuk memelihara kehidupan di dunia sekarang, sedangkan agama berfungsi untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan dan mencapai kehidupan kekal.[8] Agama adalah urusan pribadi, berbeda dengan negara yang merupakan urusan masyarakat umum.[8] Pemisahan antara keduanya haruslah ditegaskan, dan masing-masing tidak boleh mencampuri urusan yang lain.[8] Negara tidak boleh mencampuri urusan keyakinan religius manusia, sedangkan agama tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan tujuan negara.[8] Bila negara hendak menghalangi kebebasan beragama dari warganya, maka rakyat berhak untuk melawan.[8]

Tentang agama

sunting

Pandangan Locke mengenai agama bersifat deistik.[12] Ia menganggap agama Kristen adalah agama yang paling masuk akal dibandingkan agama-agama lain, karena ajaran-ajaran Kristen dapat dibuktikan oleh akal manusia.[12] Pengertian tentang Allah juga disusun oleh pembuktian-pembuktian.[12] Locke berangkat dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berakal budi, sehingga pastilah disebabkan karena adanya 'Tokoh Pencipta' yang mutlak dan maha kuasa, yaitu Allah.[12] Ia meyakini bahwa Alkitab ditulis oleh ilham Ilahi, namun ia juga menyatakan bahwa setiap wahyu Ilahi haruslah diuji oleh rasio manusia.[6]

Pengaruh

sunting

Dalam filsafat pengetahuan

sunting
 
Hume, seorang filsuf empiris radikal yang dipengaruhi oleh Locke

Pemikiran Locke tentang pengetahuan memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf setelahnya, khususnya David Hume di Inggris dan Kant di Jerman.[4][8] Pandangan Locke tentang proses manusia mendapat pengetahuan memiliki dua implikasi penting.[2] Pertama, munculnya anggapan bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari pengalaman, dan tiadanya pengetahuan secara apriori (sebelum pengalaman) sebagaimana yang dikatakan Descartes.[2] Kedua, semua hal yang manusia ketahui melalui pengalaman, bukanlah objek atau benda pada dirinya sendiri, melainkan hanya kesan-kesan indrawi dari hal itu yang diterima oleh panca indra manusia.[2]

 
Kant, filsuf besar masa Pencerahan

Pertama, mengenai pengatahuan yang berasal dari pengalaman, berarti segala pengetahuan manusia sebenarnya hanya merupakan kait-mengait dari pengalaman-pengalaman sederhana.[2] Konsep ini akan memengaruhi dan dipertajam oleh David Hume di kemudian hari, dan akhirnya mendapat bentuk paling tajam di dalam filsafat Kant, yang merupakan seorang filsuf paling berpengaruh pada era filsafat modern.[2] Kant menolak semua kemungkinan metafisika, maksudnya manusia tidak dapat mengetahui sesuatu apapun di luar panca-indranya.[2] Lebih jauh, Kant menyatakan bahwa pengetahuan atau pemikiran tentang Allah telah kehilangan legitimasi karena tidak mungkin lagi, sebab Allah berada di luar jangkauan indrawi manusia.[2] Tentu saja pandangan Kant ini telah banyak dikritik, namun pengaruhnya tetap besar.[2]

Kedua, bahwa manusia dalam pengalamannya sebenarnya hanya menerima kesan-kesan indrawi yang ditangkap oleh panca indra kita dari benda-benda atau hal-hal tertentu, memiliki implikasi terhadap kecenderungan subyektivisme.[2] Maksudnya subyektivisme adalah pandangan yang menolak adanya sesuatu yang obyektif, yang berlaku umum, dan hal itu akan mengarah ke relativisme.[2] Hal itu disebabkan manusia yang satu dengan yang lain dapat menarik kesimpulan berbeda mengenai kesan-kesan indrawi mereka masing-masing terhadap suatu hal atau benda.[2] Apa yang obyektif, yakni benda tersebut sesungguhnya pada dirinya sendiri, tidak dapat diketahui oleh manusia.[2]

Dalam bidang politik

sunting
 
Voltaire

Pengaruh pemikiran Locke dalam bidang politik amat besar di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Prancis, Jerman, bahkan hingga Amerika Serikat.[6] Bapak-bapak pendiri negara Amerika Serikat, seperti Jonathan Edwards, Hamilton, dan Thomas Jefferson dipengaruhi oleh ide-ide politik Locke.[6] Kemudian para filsuf Pencerahan Prancis, seperti Voltaire dan Montesquieu, juga dipengaruhi oleh Locke.[6][8] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran politik Locke juga memengaruhi munculnya Revolusi Prancis tanggal 14 Juli 1789.[6][8]

Pemikiran politik Locke yang terkenal adalah pembagian/pemisahan kekuasaan menjadi tiga: eksekutif (menjalankan undang-undang), legislatif (membuat undang-undang), dan federatif (memerintah daerah-daerah jajahan).

Dalam bidang keagamaan

sunting

Pandangan Locke tentang agama memengaruhi perkembangan deisme atau agama alamiah.[12] Pandangan tersebut meluas di Barat pada abad ke-19 dan ke-20.[12]

Munculnya negara-negara sekularistik

sunting

Pandangan Locke yang memisahkan urusan negara dan urusan agama dengan sangat ketat merupakan awal dari munculnya negara-negara sekularistik di kemudian hari.[8] Negara-negara yang menganut paham sekuler memisahkan dengan ketat urusan negara dan urusan agama.[8]

Terhadap psikologi dan epistemologi

sunting

Pemikiran-pemikiran Locke terhadap pikiran manusia telah membawa pengaruh dalam bidang psikologi dan epistemologi.[3] Beberapa filsuf dan pemikir setelahnya yang dipengaruhi Locke adalah David Hartley (1705-1757), Joseph Priestley (1733-1804), Francis Hutcheson (1694-1747), James Mill (1733-1836), dan Étienne Condillac (1715-1780).[3] Mereka mendapat pengaruh Locke dalam hal menganalisis pengalaman manusia berdasarkan unsur-unsur pengalaman, kombinasi unsur-unsur tersebut, dan asosiasi-asosiasi yang terjadi.[3]

Kritik terhadap Locke

sunting

Kritik terhadap model negara Locke

sunting

Menurut Simon Petrus L. Tjahjadi, gagasan Locke tentang model negara terlalu mengedepankan kepentingan kaum bangsawan dan kaum pemodal dibandingkan kepentingan seluruh rakyat.[8] Hal itu terlihat dari model pembatasan kekuasaan negara yang menggunakan pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutif, yang mana golongan eksekutif dan federatif diduduki oleh raja dan para menteri, sedangkan golongan legislatif diisi golongan bangsawan dan orang-orang kaya.[8] Tidak ada tempat bagi rakyat biasa di dalam model pembagian kekuasaan ini.[8] Jikalau tidak ada tempat bagi rakyat biasa untuk mengawasi jalannya pemerintahan, maka pembuatan Undang-Undang dan pelaksanaannya dapat saja disalahgunakan bagi kepentingan pemerintah dan kaum bangsawan saja.[8] Bila ini terjadi, rakyat tidak dapat memperjuangkan kepentingannya melalui sistem negara yang ada, dan akhirnya hanya akan membuat negara kembali ke "keadaan perang" karena terjadi ketidakadilan.[8] Padahal situasi "keadaan perang" itulah yang ingin diatasi Locke.[8]

Kritik terhadap pemisahan negara dan agama

sunting

Locke merumuskan wewenang negara dan agama dengan amat ketat sehingga keduanya menjadi terpisah dan tidak boleh saling mencampuri wewenang yang lain.[8] Urusan agama adalah keselamatan akhirat sedang urusan negara adalah keselamatan di dunia saat ini, ketika manusia masih hidup.[8] Persoalannya, menurut Simon Petrus L. Tjahjadi, apakah pemisahan itu sesuai dengan pandangan agama itu sendiri?[8] Kebanyakan agama memiliki pandangan bahwa agama harus ikut campur dalam soal-soal publik, seperti keadilan sosial, wewenang pemerintahan, dan tuntutan moral umum.[8] Perwujudan iman setiap pemeluk agama sering kali harus berfungsi juga di dalam persoalan-persoalan umum, sehingga pemisahan antara agama dan agama seperti yang diusulkan Locke dapat melanggar keyakinan agama-agama tertentu dan tidak dapat diterima.[8]

Bibliografi karya-karya utama Locke

sunting
  • (1689) "Sebuah Surat Perihal Toleransi" (A Letter Concerning Toleration)
    • (1690) "Surat Kedua Perihal Toleransi" (A Second Letter Concerning Toleration)
    • (1692) "Surat Ketiga Perihal Toleransi" (A Third Letter for Toleration)
  • (1689) "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two Treatises of Government)
  • (1690) "Essay Perihal Pengetahuan Manusia" (An Essay Concerning Human Understanding)
  • (1693) "Beberapa Pemikiran Perihal Pendidikan" (Some Thoughts Concerning Education)
  • (1695) "Kerasionalan Agama Kristen, sebagaimana Dikatakan di dalam Alkitab" (The Reasonableness of Christianity, as Delivered in the Scriptures)
    • (1695) "Mempertahankan Kerasionalan Agama Kristen" (A Vindication of the Reasonableness of Christianity)

Manuskrip yang belum dipublikasikan atau dipublikasikan setelah meninggal

sunting
  • (1660) "Traktat Pertama tentang Pemerintahan" (First Tract of Government atau the English Tract)
  • (sekitar tahun 1662) "Traktat Kedua tentang Pemerintahan (Second Tract of Government atau the Latin Tract)
  • (1664) "Pertanyaan-Pertanyaan Perihal Hukum Alam" (Questions Concerning the Law of Nature) *(1667) "Essay Perihal Toleransi" (Essay Concerning Toleration)
  • (1706) "Mengenai Proses Mencapai Pemahaman" (Of the Conduct of the Understanding)
  • (1707) "Parafrase dan Catatan-Catatan terhadap Surat-Surat Rasul Paulus" (A Paraphrase and Notes on the Epistles of St. Paul)

Referensi

sunting
  1. ^ Peter Laslett (1988). "Introduction: Locke and Hobbes". Two Treatises on Government. Cambridge University Press. hlm. 68. ISBN 9780521357302. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n Franz Magnis-Suseno. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 73-74.
  3. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Ted Honderich, ed. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. New York: Oxford University Press. P. 493-497.
  4. ^ a b c (Inggris)Michael Ayers. 1998. "Locke, John". In Routledge Encyclopedia of Philosophy. P. 4852. London: Routledge.
  5. ^ (Inggris)R.S. Woolhouse. 2003. "Locke". In The Blackwell Companion to Philosophy Second Edition. Nicholas Bunnin & E.P. Tsui-James, eds. 682. Malden: Blackwell Publishing.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag (Inggris)James Gordon Clapp. 1972. "Locke, John". In The Encyclopedia of Philosophy Volume 3. Paul Edwards, ed. 487-503. New York: Macmillan Publishing.
  7. ^ Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Hingga Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, 175.
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 236-247.
  9. ^ (Inggris)Nicholas P. Wolterstorff. 1999. "Locke, John". In Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 506-509.London: Cambridge University Press.
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca cb cc cd ce cf cg ch ci cj ck cl cm cn co cp cq cr cs ct cu cv cw cx cy cz da db dc dd de df dg dh di dj dk dl dm dn (Inggris)J.R. Milton. 1999. "Locke's Life and Times". In The Cambridge Companion to Locke. Vere Chappell, ed. 5-25. London: Cambridge University Press.
  11. ^ (Inggris)Roger Woolhouse. 1999."Locke's Theory of Knowledge". In The Cambridge Companion to Locke. Vere Chappell, ed. 146. London: Cambridge University Press.
  12. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 36-39.
  NODES
Done 1
jung 3
jung 3