Katedral Jakarta

gereja di Jakarta

Gereja Katedral Jakarta, atau bernama resmi Gereja Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga (bahasa Belanda: De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming; bahasa Inggris: The Church of Our Lady of the Assumption) adalah sebuah gereja katedral Katolik yang terletak di Jakarta Pusat, Jakarta, ibu kota Indonesia. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.[1]

Katedral Jakarta
Gereja Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
Katedral Jakarta pada tahun 2015
PetaKoordinat: 6°10′9.31″S 106°49′59.23″E / 6.1692528°S 106.8331194°E / -6.1692528; 106.8331194
LokasiJakarta Pusat, Jakarta
NegaraIndonesia
DenominasiGereja Katolik Roma
Situs webwww.katedraljakarta.or.id
Arsitektur
StatusKatedral, Paroki
Status fungsionalAktif
ArsitekAntonius Dijkmans
Tipe arsitekturGereja
GayaNeo-Gotik
Spesifikasi
Kapasitas2.500 orang
Administrasi
ParokiKatedral
DekenatPusat
Keuskupan AgungJakarta
ProvinsiJakarta
Klerus
UskupIgnatius Kardinal Suharyo
Imam yang bertugasR.P. A. Hani Rudi Hartoko, S.J.
Imam rekanR.P. Yohanes Deodatus, S.J.
Cagar budaya Indonesia
Gereja Katedral Jakarta
PeringkatNasional
KategoriSitus
No. RegnasCB.64
Lokasi
keberadaan
Jakarta Pusat, Jakarta
No. SK237/M/1999
Tanggal SK4 Oktober 1999
Tingkat SKMenteri
PemilikParoki Katedral
PengelolaParoki Katedral
Koordinat6°10′09″S 106°49′59″E / 6.169175°S 106.833134°E / -6.169175; 106.833134
Katedral Jakarta di Jakarta
Katedral Jakarta
Katedral Jakarta
Lokasi Katedral Jakarta di Jakarta Pusat
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik Jakarta.

Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya saat terjadi kebakaran besar. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890, Gereja itu pun sempat roboh oleh masalah struktur sehingga harus dilakukan renovasi. Arsitektur bangunan gereja yang sekarang sangat mirip dengan Gereja Sint-Petrus-en-Pauluskerk, Oostende, Belgia.

Pada malam natal, 24 Desember 2000, Gereja ini menjadi salah satu lokasi yang terkena serangan ledakan bom oleh kelompok ekstremis Islam, Jamaah Islamiyah.

Sejarah

sunting

1807–1826

sunting

Dengan adanya perubahan politik di Belanda khususnya kenaikan takhta Raja Louis Napoleon, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui oleh pemerintah. Pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda. Prefektur apostolik adalah suatu wilayah Gereja Katolik yang bernaung langsung di bawah pimpinan Gereja Katolik di Roma, yang dipimpin bukan oleh seorang Uskup, melainkan oleh seorang imam biasa yang ditunjuk oleh Paus dan disebut sebagai Prefek Apostolik.

Pada tanggal 4 April 1808, dua orang imam dari Belanda tiba di Jakarta, yaitu R.D. Jacobus Nelissen dan R.D. Lambertus Prinsen.[2] Adapun yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama adalah R.D. Jacobus Nelissen. Setelah sekitar dua abad perayaan ekaristi dilarang di Hindia Belanda, pada tanggal 10 April 1808, untuk pertama kalinya diselenggarakan misa secara terbuka di Batavia di rumah Dokter F.C.H. Assmuss, kepala Dinas Kesehatan waktu itu. Dokter Assmuss bersama dengan beberapa kawan kemudian mengumpulkan sejumlah orang yang sebagian besar bekerja sebagai tentara. Upacara Misa berlangsung sederhana dengan tempat yang kurang memadai. Kedua imam tersebut untuk sementara tinggal di rumah Dokter Assmuss.

Pada bulan Mei, kedua imam itu sempat pindah ke rumah bambu yang dipinjamkan pemerintah untuk digunakan sebagai pusat sementara kegiatan-kegiatan Katolik. Rumah tersebut terletak di sebuah asrama tentara yang ada di pojok barat daya Buffelsveld atau Lapangan Banteng (sekarang kira-kira di antara Jalan Perwira dan Jalan Pejambon, di atas tanah yang saat ini ditempati oleh Kementerian Agama). Pada tanggal 15 Mei 1808, perayaan Misa Kudus pertama dirayakan di gereja darurat (kira-kira tempat parkir Masjid Istiqlal). Pada waktu itu juga telah dibentuk Badan Pengurus Gereja dan Dana Papa, yang terdiri atas Prefek Apostolik Jacobus Nelissen sebagai ketua, dengan anggota-anggota Chevreux Le Grevisse, Fils, Bauer, dan Liesart. Selama tahun 1808, berlangsung pembaptisan bagi 14 orang, yaitu seorang dewasa keturunan Eropa Timur, delapan anak hasil hubungan gelap, di antaranya ada empat yang ibunya masih berstatus budak, dan hanya lima anak dari pasangan orang-orang tua yang sah status perkawinannya.[1]

Karena dirasa perlu adanya sebuah rumah ibadah yang dapat digunakan untuk mengumpulkan umat, pada 2 Februari 1810, Pastor Nelissen mendapat sumbangan sebuah kapel dari Gubernur-Jenderal Meester Herman Daendels, yaitu sebuah kapel sederhana yang terletak di pinggir Jalan Kenanga, di daerah Senen, menuju Istana Weltevreden (sekarang menjadi RSPAD Gatot Subroto). Kapel ini dibangun oleh Cornelis Chastelein dan sebelumnya dipakai oleh jemaat Protestan yang berbahasa Melayu dan pada hari biasa dipakai sebagai sekolah. Kapel ini merupakan milik Gubernemen yang dihadiahkan berikut semua isinya, termasuk 26 kursi dan sebuah organ yang sudah tidak dapat digunakan. Karena kondisi bangunan yang kurang layak, Pastor Nelissen segera mengerahkan sejumlah orang untuk merenovasi bangunan. Semua pekerjaan ini dipercayakan kepada pengusaha Tjung Sun dengan pengawasan Jongkind, arsitek, atas nama Dewan Gereja. Kapel inilah yang menjadi Gereja Katolik pertama di Batavia. Dalam bulan yang sama, Gereja Katolik pertama di Batavia ini diberkati dan sebagai pelindungnya dipilih Santo Ludovikus. Gedung itu memang tidak bagus namun dirasa cukup kuat karena terbuat dari batu dan dapat menampung 200 umat. Di dekat gedung gereja itu dibangun sebuah Pastoran sederhana yang terbuat dari bambu.

Pada tanggal 10 Mei 1812, Sir Thomas Stamford Raffles, gubernur Pulau Jawa, beserta istrinya menjadi ibu/bapak permandian dari Olivia Marianne Stamford Raffles Villeneuve, putri dari Ludorici Francisci Josephi Villeneuve dan Jeanna Emilie Gerische Conjugum.[2] Pada tanggal 6 Desember 1817, jenazah Prefektur Apostolik pertama, Mgr. Jacobus Nelissen, yang meninggal dunia karena sakit TBC disemayamkan di Kuburan Tanah Abang.[2] Posisi Nellisen digantikan oleh R.D. Lambertus Prinsen yang sejak tahun 1808 bertugas di Semarang. Meskipun Pastor Prinsen telah menjadi Prefek Apostolik Jakarta yang kedua, dia lebih sering berada di Semarang.

Pada tanggal 27 Juli 1826, terjadi kebakaran di Segitiga Senen. Pastoran turut lebur menjadi abu bersama dengan 180 rumah lainnya. Gedung gereja selamat dari kebakaran, tetapi gedung itu sudah rapuh juga dan tidak dapat digunakan lagi.[1]

1827–1890

sunting
 
Gereja Katedral Batavia (ca 1870–1900).

Pada waktu itu yang menjabat sebagai Komisaris Jenderal adalah Leonardus Petrus Josephus Burggraaf Du Bus de Ghisignies, seorang ningrat yang juga beragama Katolik, berasal dari daerah Vlaanderen di Belgia. Ia memiliki wewenang penuh di Batavia, serta lebih tinggi kekuasaannya dari seorang Gubernur Jenderal. Selama jabatan Du Bus De Ghisignies, 1825-1830, Gereja Katolik di Indonesia bisa bernapas lega. Ia beragama Katolik dan sangat memperhatikan kebutuhan umat. Ia juga sangat berjasa dalam menciptakan kebebasan kehidupan beragama di Batavia waktu itu. Salah satu jasanya adalah Regeringsreglement yang dibuatnya, pada pasal 97 diletakkan: "Pelaksanaan semua agama mendapat perlindungan pemerintah". Ia juga mendesak Pastor Prinsen untuk segera menetap di Jakarta.[1]

Melihat kebutuhan umat yang mendesak akan adanya gereja untuk tempat ibadah, Ghisignies mengusahakan tempat untuk mendirikan Gereja baru. Ia memberi kesempatan kepada Dewan Gereja Katedral untuk membeli persil bekas istana Gubernur Jenderal di pojok barat/utara Lapangan Banteng (dulu Waterlooplein) yang waktu itu dipakai sebagai kantor oleh Departemen Pertahanan. Pada waktu itu, di atas tanah tersebut berdiri bangunan bekas kediaman panglima tentara Jenderal de Kock. Umat Katolik saat itu diberi kesempatan untuk membeli rumah besar tersebut dengan harga 20.000 gulden. Pengurus gereja mendapat pengurangan harga 10.000 gulden dan pinjaman dari pemerintah sebesar 8.000 gulden yang harus dilunasi selama 1 tahun tanpa bunga.

Pada tahun 1826 Ghisignies memerintahkan Ir. Tromp untuk menyelesaikan "Gedung Putih" yang dimulai oleh Daendels (1809) dan kini dipakai Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Ir. Tromp diminta juga membangun kediaman resmi untuk komandan Angkatan Bersenjata (1830) dan sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila di Jl. Pejambon. Order ketiga pada Ir. Tromp adalah merancang Gereja Katolik pertama di Batavia. Tempatnya adalah yang sekarang dipakai Gereja Katedral.

Atas desakan Komisaris-Jenderal Du Bus De Ghisignies, Ir. Tromp merancang gereja baru berbentuk salib sepanjang 33 x 17 meter. Ruang altar dibuat setengah lingkaran, sedang dalam ruang utama yang panjang dipasang 6 tiang. Gaya bangunan ini bercorak barok-gotik-klasisisme; jendela bercorak neogotik, tampak muka bergaya barok, pilaster dan dua gedung kanan kiri bercorak klasisistis. Menara tampak agak pendek dan dihiasi dengan kubah kecil di atasnya. Maka, gaya bangungan itu disebut eklektisistis. Ditambah lagi dua gedung untuk pastoran yang mengapit gereja di kanan kiri serta deretan kamar-kamar dibelakangnya. Rupanya rancangan Ir. Tromp ini membutuhkan dana yang cukup besar dan melampaui kemampuan finansial gereja waktu itu. Maka rancangan ini tidak pernah terlaksana.[1]

Oleh karena itu, gedung yang diperoleh umat Katolik tersebut, atas usul Ir. Tromp dirombak sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk gereja. Bangunan ini sebenarnya adalah gedung dengan sebuah ruangan luas di antara dua baris pilar. Di kedua sisi panjangnya dilengkapi dengan gang. Di tengah atap dibangun sebuah menara kecil enam persegi. Di sebelah timur sebagian dari rumah asli tetap dipertahankan untuk kediaman pastor dan di sebelah barat untuk koster. Altar Agungnya merupakan hadiah dari Komisaris Jenderal du Bus Ghisignies. Gereja yang panjangnya 35 meter dan lebarnya 17 meter ini pada tanggal 6 November 1829 diberkati oleh Monseigneur Prinsen dan diberi nama Santa Maria Diangkat ke Surga.

Gereja itu cukup membantu para imam dalam menjalankan misi pelayanannya di Batavia. Umat yang mengikuti misa semakin banyak. Untuk pertama kalinya, pada tanggal 8 Mei 1834, empat orang pribumi suku Jawa dibaptis di gereja ini.

Seiring dengan berjalannya waktu, gereja tersebut mengalami banyak kerusakan. Perbaikan yang dilakukan hanya bersifat tambal sulam saja. Kemudian pada tahun 1859 diadakan renovasi yang cukup besar. Menurut pengamatan seorang ahli bangunan, menara yang ada di tengah atap merupakan penyebab terjadinya kerusakan dan kebocoran. Menara tersebut terlalu berat bagi struktur atap gereja, sehingga menekan tembok dan menimbulkan kebocoran dimana-mana. Oleh karena itu diusulkan untuk membongkar menara kecil tersebut dan menggantinya dengan sebuah menara baru yang terletak di atas pintu masuk, di sebelah barat. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1880 gereja ini mulai difungsikan lagi setelah selesai direnovasi.

Hampir sepuluh tahun kemudian, 9 April 1890, ditemukan bagian-bagian gereja yang mulai rusak, Setumpuk kapur dan pasir berserakan dekat sebuah pilar. Keadaan ini cukup mencemaskan para imam, terutama Pater Kortenhorst yang pagi itu sempat menginjak setumpuk kapur dan pasir tersebut. Pada hari yang sama sekitar pk. 09.00 pagi, Pastor Kortenhorst dan Pastor Luypen memeriksa situasi gereja. Salah satu pilar tampak mengkhawatirkan. Pada pk.10.30 keadaan pilar tampak lebih buruk dan semakin memprihatinkan. Banyak kapur mulai terlepas lagi. Tidak lama kemudian, ketika para pastor memasuki sakristi, bangunan gereja ambruk disertai suara gemuruh yang mengerikan. Seluruh pekarangan ditutupi debu sehingga orang tidak dapat melihat lebih dari lima langkah. Jam saat itu menunjukkan pukul 10.45 pagi. Hari itu tepat 3 hari sesudah perayaan Paskah.[1]

Ketika debu sudah mulai turun, kehancuran gereja mulai tampak jelas. Atapnya menganga. Sebelum peristiwa ini, masih ada 68 bangku terbuat dari kayu jati dan kini tinggal 10, sisanya rusak berat. Selain itu, yang masih berdiri utuh adalah altar, pelataran imam dan ruang sakristi serta menara.

Kondisi gereja saat itu sangat parah dan tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan misa. Untuk sementara waktu misa diselenggarakan di dalam garasi kereta kuda yang disesuaikan fungsinya untuk gereja darurat.[1]

1891–1901

sunting

Para imam dan umat mulai mengupayakan dibangunnya gereja yang baru. Pada tanggal 1 November 1890 ditandatangani sebuah kontrak antara Mgr. Adam Carel Claessens dan pengusaha Leykam tentang pembelian tiga juta batu bata. Dalam perjanjian tersebut, disebutkan bahwa ukuran batu bata yang diminta harus sesuai dengan contoh yang dilampirkan dan harganya ditetapkan 2,2 hingga 2,5 sen untuk setiap buahnya. Juga disebutkan bahwa dimulai dari tanggal 1 Desember 1890, setiap bulannya harus diserahkan 70.000 buah batu bata dari perusahaan pembakaran. Jumlah batu bata yang retak dan pecah tidak boleh melebihi 10 persen. Hal ini mengarah kepada harapan untuk pembangunan gereja yang dilakukan secara lebih professional.

Orang yang ditunjuk dan dipercaya untuk menjadi perencana dan arsitek pembangunan gereja ini adalah R.P. Antonius Dijkmans, S.J., seorang ahli bangunan yang pernah mengikuti kursus arsitektur gerejani bersama Eugène Viollet-le-Duc di Paris, Prancis serta Eduard Cuypers di Belanda. Pastor Dijkmans yang sudah tiba di Jakarta dua tahun sebelum gereja runtuh, sebelumnya sudah membangun dua gereja di Belanda. Ia juga merancang dan membangun kapel Susteran yang terletak Jalan Pos 2, pada tahun 1891. Pada pertengahan tahun 1891 mulai dilakukan peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan gereja tersebut. Setelah sekitar setahun berjalan, pembangunan terpaksa dihentikan karena kurangnya biaya. Selain itu, pada tahun 1894, Pastor Dijkmans harus pulang ke Belanda karena sakit dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1922. Pekerjaan pembangunan macet dan misa tetap dilaksanakan di garasi pastoran.

Uskup baru, Mgr. E.S. Luypen, S.J. mengumpulkan dana di Belanda dan Insinyur Marius Jan Hulswit memulai pembangunan lagi. Batu "pertama" diletakkan dan diberkati pada tanggal 16 Januari 1899, sebagai tanda dimulainya kembali pembangunan gereja ini. Pada bulan November balok-balok atap dipasang.[1] Untuk mendukung dana pembangunan gereja, Badan Pengurus Gereja bersama umat dua kali mengadakan undian (lotre), satu kali sebelum pelatakan fondamen, kemudian sebelum pembangunan atas dimulai. Karena subsidi dari pemerintah tetap ditolak, maka menutup kekurangan itu dikeluarkan obligasi sebesar 50.000 Gulden Belanda dan pengumpulan derma di kalangan umat Katolik maupun di luarnya ditingkatkan.

Selain arsitek baru, ada juga seorang kontraktor bernama van Schaik. Sedangkan Ir. van Es mewakili Badan Pengurus Gereja sebagai bouwheer. Konstruksi besi kedua menara digambar dan dikerjakan oleh Ir. van Es sendiri.

11 tahun sesudah keputusan Badan Pengurus Gereja, 10 tahun sesudah peletakan batu pertama, gereja selesai. Perlu diingat bahwa selama 7 tahun pembangunan gereja terhenti karena kehabisan dana, sehingga pembangunan sebenarnya hanya berlangsung 3 tahun.

"De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming - Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga" diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta pada tanggal 21 April 1901. Dalam upacara peresmian tersebut banyak dihadiri para pejabat dan umat. Mgr Luypen berdoa sejenak di hadapan patung Maria yang terdapat di antara dua pintu utama, lalu tepat pada pukul 08.00 pagi, Mgr. Luypen mulai mengelilingi seluruh gereja dan memerciki dengan air suci sambil diiringi paduan suara Santa Sesilia, yang pada tanggal 22 November 1865 didirikan oleh C.G.F. can Arcken. Prosesi terdiri dari pembawa salib, putra altar, para imam dan akhirnya sang Vikaris Apostolik. Di muka altar semua berlutut dan menyanyikan Litani Orang Kudus. Misa Pontifikal dengan liturginya yang kuno nan luhur diselenggarakan oleh Bapa Uskup, didampingi lima imam. Paduan Suara Santa Sesilia dengan pimpinan bapak Toebosch dan dengan iringan organ menyanyikan Misa karangan Benoit.[1]

Mulai sejak itu gereja utama di Jakarta itu layak disebut Katedral, karena di dalamnya terdapat cathedra, yakni Tahta Uskup.

1901–sekarang

sunting
 
Gereja Katedral Jakarta (ca.1950-60)

Berbagai peristiwa mewarnai lebih dari 100 tahun berdirinya Gereja Katedral ini. Pada tahun 1924 untuk pertama kalinya seorang Uskup ditahbiskan dalam Gereja Katedral, yaitu Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. dan tahun berikutnya sidang pertama Majelis Wali-wali Gereja Indonesia diadakan dalam Pastoran Katedral.

Kardinal Gregorio Pietro Agagianian, seorang Armenia, mengunjungi Jakarta pada tahun 1959 dan diterima dengan meriah oleh Gereja dan pimpinan Negara RI.[1] Pembicaraannya dengan para waligereja dan pembesar ordo yang berkarya di seluruh Indonesia penting bagi masa depan. Hasilnya diumumkan pada tahun 1961: Gereja di Indonesia bukan daerah misi lagi, melainkan Gereja Bagian yang berdiri sendiri.

Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, yang ditahbiskan di Katedral Jakarta oleh Duta Besar Vatikan pada tanggal 23 April 1953, sepuluh tahun tahun kemudian diangkat menjadi Uskup Agung. Pada saat itu,1962, Keuskupan Agung Jakarta mencakup 14 paroki dengan jumlah umat 32.599 orang. Provinsi Gerejawi Jakarta juga mencakup dua keuskupan lain, yaitu Keuskupan Bogor dan Keuskupan Bandung.[1]

Pada tahun 1963/1965 para Uskup Indonesia ikut serta dalam konsili Vatikan II, yang membawa banyak perubahan dalam pastoral dan liturgi Gereja. Waktu para Uskup masih berada di Roma, di Jakarta pecah G30S PKI, sehingga Katedral perlu dijaga oleh para Pemuda Katolik dan tentara.

Peristiwa lainnya yang menggembirakan bagi umat Jakarta adalah kunjungan Paus Paulus VI (1970) dan Paus Yohanes Paulus II (1989) ke Indonesia yang disambut oleh Mgr Leo Soekoto. Ibadat dirayakan dengan meriah oleh Paus Paulus VI bersama banyak Uskup di Katedral. Pada waktu kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Keuskupan Agung Jakarta sedang berlangsung Sinode Pertama.[1]

Seiring dengan masa 100 tahun ini, pada tahun 1988 dilakukan pemugaran untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan dan membersihkan lumut serta pengecatan ulang. Selain itu, juga dibangun gedung pastoran dan gedung pertemuan yang baru di bagian belakang gereja.

Pada 13 Agustus 1988, purnakarya pemugaran gereja Katedral diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Soepardjo Roestam yang hadir mewakili Presiden Soeharto. Acara dimeriahkan dengan konser orgel oleh Hub Wolfs, organis dari Basilika Santo Servatius, Maastricht dan oleh Pastor Alfons Kurris, seorang dosen di konservatorium yang juga ada di Maastricht. Uskup Agung Leo Soekoto memberkati orgel pipa yang baru dan megah itu, sebuah orgel yang mempunyai 15 register dan diperlengkapi dengan 1.000 buah pipa. Berselang-seling kedua organis yang professional itu memperdengarkan karya-karya klasik, yang oleh komponis-komponis seperti Vivaldi, Bach dan Cesar Frank diciptakan khusus untuk instrumen rajawi itu.[1]

Pada tahun 2002 juga sempat dilakukan pembersihan dan pengecatan ulang pada dinding luar gedung gereja Katedral karena lumut banyak tumbuh merambat di dinding.

Ketika gedung ini pertama kali dibangun dulu, para pejabat genie (pasukan zeni) waktu itu menilai gedung gereja yang menghabiskan biaya 628.000 gulden rancangan P.A Dijkmans tersebut sebagai "gedung yang terlampau kuat" mengingat struktur gedung dan material yang digunakan sungguh-sungguh pilihan yang terbaik. Maka sampai sekarang - 100 tahun sesudahnya - gereja Katolik utama di Jakarta tetap berdiri tegak.

Arsitektur dan eksterior

sunting

Arsitektur Gereja Katedral Jakarta dibuat dengan gaya neo-gotik. Denah dengan bangunan berbentuk salib dengan panjang 60 meter dan lebar 20 meter. Pada kedua belah terdapat balkon selebar 5 meter dengan ketinggian 7 meter. Konstruksi bangunan ini dikerjakan oleh seorang tukang batu dari Kwongfu, Tiongkok. Konstruksi bangunan ini terdiri dari batu bata tebal yang diberi plester dan berpola seperti susunan batu alam. Dinding batu bata ini menunjang kuda-kuda kayu jati yang terbentang selebar bangunan.[2]

Terdapat 3 buah menara di Gereja Katedral, yaitu: Menara Benteng Daud, Menara Gading, dan Menara Angelus Dei. Masing-masing menara ini dibuat dari besi. Bagian bawah didatangkan dari Nederland dan bagian atas dibuat di bengkel Willhelmina, Batavia. Pada Menara Gading terdapat sebuah jam yang pada mesinnya tertulis Van Arcken & Co. Pada Menara Benteng Daud terdapat sebuah lonceng yang dihadiahkan oleh Clemens George Marie van Arcken. Pada Menara Gading terdapat lonceng yang lebih kecil dan disumbangkan oleh seorang Belanda bernama Chasse. Lonceng yang terbesar bernama Wilhelmus, merupakan hadiah dari J.H. de Wit.

Di halaman depan gereja yang juga berfungsi sebagai lahan parkir, terdapat Patung Kristus Raja. Halaman depan gereja ini menjadi lokasi pintu utama gereja. Di sekitar pintu utama terdapat sebuah pernyataan Katedral Jakarta sebagai cagar budaya. Di pintu utama terdapat patung Maria dengan tulisan Beatam Me Dicentes Omnes yang berarti "Semua keturunan menyebut aku bahagia". Di atas pintu utama terdapat rozeta, yakni jendela bercorak Rosa Mystica sebagai lambang dari Bunda Maria. Pada rozeta terdapat 12 mahkota mawar sebagai representasi 12 rasul.[3]

Di samping Katedral terdapat Plaza Pancasila, suatu taman dengan hiasan dengan ikon Garuda Pancasila. Terdapat juga sebuah Goa Maria, yang bentuk fisiknya mirip dengan Goa Maria di Lourdes, Prancis. Goa ini terdapat di halaman samping gereja. Selain itu terdapat juga Museum Katedral dan Sekretariat Paroki Katedral.

Interior Katedral

sunting

Pada serambi di sekitar pintu utama gereja, terdapat sebuah batu pualam yang menjelaskan bahwa gereja ini didirikan oleh Arsitek Marius Hulswit dalam periode 1899–1901. Pada sisi kiri terdapat monumen "Du Bus" yang dibuat di Belgia dan dipersembahkan kepada umat Katolik di Jakarta. Pada tembok sebelah selatan terdapat pualam putih yang menjelaskan bahwa gedung ini dirancang oleh Pastor Antonius Dijkmans, S.J., yang disebut sebagai Batu Peringatan D.O.M. (Domino Optimo Maximo).[2] Kata-kata yang tertulis pada Batu Peringatan DOM adalah sebagai berikut:

Bahasa Latin   Bahasa Indonesia

HANC AEDEM
DELINEATAM AB ANT. DIJKMANS PRESBYTERO
CUIUS PRIMUS LAPIS POSITUS EST
A CAROLO WENNEKER PROVICARIO
DIE XVI JANUARII MDCCCXCIX
D. O. M.
SUB AUSPICIIS BEATAE MARIAE VIRGINIS
DEDICAVIT ILLUSTRISSIMUS DOMINUS
EDMUNDUS SYBRANDUS LUYPEN
EPISCOPUS TIULARIS OROPENSIS
VICARIUS APOSTOLICUS BATAVIENSIS
DIE XXI APRILIS MCMI

Gedung ini
dirancang oleh Pastor Antonius Dijkmans
batu pertama diletakkan
oleh Carolus Wenneker, Provikaris
pada tanggal 16 Januari 1899
BAGI TUHAN YANG MAHABAIK DAN MAHABESAR
kepada perlindungan Santa Perawan Maria
dipersembahkan oleh Yang Mulia
Edmundus Sybrandus Luypen
Uskup Tituler Orope
Vikaris Apostolik Batavia
pada tanggal 21 April 1901

 
Panti umat Katedral.

Di ruang/panti umat, terdapat sebuah patung pieta, yang merupakan replika dari karya Michaelangelo dan menggambarkan Maria yang memangku jasad Yesus setelah diturunkan dari salib. Di sebelah kiri dan kanan gereja terdapat 14 lukisan Jalan Salib. Lukasan ini dilukis di atas ubin oleh Theo Molkenboer. Terdapat juga sebuah mimbar yang pada awalnya digunakan untuk memberikan homili. Mimbar ini disebut sebagai mimbar kerang atau juga mimbar pengkhotbah. Mimbar ini merupakan hadiah dari imamat Mgr. Luypen yang diresmikan oleh Pastor Wenneker. Mimbar bercorak gotik ini dibuat oleh Firma Te Poel dan Stoltefusz di Den Haag, Belanda. Katedral Jakarta juga memiliki sebuah organ pipa yang dibuat di Belgia pada tahun 1988. Organ pipa lain terletak di bagian atas panti umat Katedral.

  • Panti Imam:
    • Patung Ignatius Loyola: terdapat pada pilar sebelah kiri di depan Altar Utama.
    • Patung Fransiskus Xaverius: terdapat di sebelah kanan. Seorang misionaris terkenal.
    • Katedra: Tempat duduk uskup sewaktu memimpin misa.
    • Bejana pemandian: Terbuat dari marmer
    • Altar: Altar utama (berhiaskan relief dan patung ke-12 murid Yesus serta Ignatius de Loyola dan Franciscus Xaverius); Relikui pada ketiga altarnya; altar Maria (berhiaskan relief kehidupan Bunda Maria); dan Altar Yoseph (berhiaskan relief kehidupan Santo Yosep).

Museum Katedral

sunting
 
Museum Katedral.

Museum Katedral diresmikan pada tanggal 28 April 1991 oleh Uskup Agung Jakarta, Julius Darmaatmadja, S.J. Pembuatan Museum Katedral diprakarsai oleh pastor kepala Katedral pada waktu itu, yaitu Pater Rudolf Kurris, S.J.[4] Hal ini berawal dari rasa cinta Kurris terhadap sejarah dan benda-benda bersejarah. Menurutnya, benda-benda bersejarah itu dapat membangkitkan rasa kagum manusia terhadap masa lampau dan keinginannya menyalurkan pengetahuan dari generasi ke generasi. Museum Katedral ini sebelumnya berada di ruang balkon Katedral, namun sekarang dpindahkan ke pastoran lama, sisi utara gereja atau Plaza Maria.[2]

  • Isi Museum Katedral:
- Teks doa berbingkai: Dua versi buku misa berbahasa Latin yang dipakai pada masa pra-Vatikan II.
- Mitra dan tongkat gembala Paus Paulus VI
- Piala dan Kasula Paus Yohanes Paulus II
- Replika Pastoran
- Perangko
- Lukisan dari batang pohon pisang karya Kusni Kasdut
- Replika perahu Pastor P. Bonnike, SJ
- Relikui santo & santa
- Orgel Pipa asli katedral

Pastor kepala

sunting
  • 1808–1810: J. Nelissen, Pr
  • 1810–1825: P. Wedding, Pr
  • 1826–1827: A. Thijssen, Pr
  • 1827–1828: C. Mouriks, Pr
  • 1828–1830: L. Prinsen, Pr
  • 1830–1842: J. Scholten, Pr
  • 1842–1845: H. Cartenstat, Pr
  • 1845–1846: J. Grooff, Pr
  • 1847–1848: H. van der Grinten, Pr
  • 1848–1854: P. Vrancken, Pr
  • 1854–1864: H. Van der Grinten, Pr
  • 1864–1874: A. Claessens, Pr
  • 1874–1877: J. Lijnen, Pr
  • 1877–1882: J. De Vries, SJ
  • 1882–1894: P. Van Santen, SJ
  • 1894–1904: C. Wenneker, SJ
  • 1904–1911: W. Hellings, SJ
  • 1911–1918: L. Sondaal, SJ
  • 1919–1925: A. Van Hoof, SJ
  • 1925–1932: J. Wubbe, SJ
  • 1932–1933: L. Schlattmann, SJ
  • 1933–1935: J. Wubbe, SJ
  • 1935–1938: L. Schlattmann, SJ
  • 1938–1942: C. Ruygrok, SJ
  • 1942–1946: L. Zwaans, SJ
  • 1946–1951: C. Doumen, SJ
  • 1951–1954: J. Awick, SJ
  • 1954–1960: L. Zwaans, SJ
  • 1960–1963: S. Hardaparmaka, SJ
  • 1963–1966: T. Wignjasoepadma, SJ
  • 1967–1968: T. Harsawidjaja, SJ
  • 1968–1973: FX. Gunawan, SJ
  • 1973–1976: H. Van Opzeeland, SJ
  • 1976–1980: C. Van Ierssel, SVD
  • 1981–1985: W. Heffernann, M.M.
  • 1985–1993: R. Kurris, SJ
  • 1993–1996: M. Soenarwidjaja, SJ
  • 1996–2006: RM. Wisnumurti, SJ
  • 2006–2017: St. Bratakartana, SJ
  • 2017–kini: A. Hani Rudi Hartoko, SJ

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m Situs resmi Katedral Jakarta
  2. ^ a b c d e f (Indonesia)2008. "Perjalanan Iman Gereja Katedral". Jakarta: Museum Katedral.
  3. ^ "Katedral Jakarta - Eksterior Gereja". Sekretariat Paroki Katedral Jakarta. Diakses tanggal 17 Desember 2024. 
  4. ^ "Asal Mula Museum Gereja Katedral Jakarta". Kompas.com. 25 Oktober 2022. Diakses tanggal 22 Desember 2024. 

Pranala luar

sunting
  NODES
admin 1