Pengguna:MRFazry/sandbox
2°19′0″N 128°32′0″E / 2.31667°N 128.53333°E
| ||||||||||||||||||||||||||
Pertempuran Morotai, bagian dari Perang Pasifik, dimulai pada 15 September 1944, dan terus berlanjut hingga akhir perang pada Agustus 1945. Pertempuran dimulai ketika pasukan Amerika Serikat dan Australia mendarat di barat daya Morotai, pulau kecil di Hindia Belanda, yang dibutuhkan oleh Sekutu sebagai pangkalan untuk menunjang pembebasan Filipina di akhir tahun. Pasukan penyerbu melampaui jumlah pasukan bertahan Jepang dan mencapai tujuan mereka dalam dua pekan. Bala bantuan Jepang mendarat di pulau itu antara September and November, tetapi kekurangan persediaan yang dibutuhkan untuk menyerang garis pertahanan Sekutu secara efektif. Pertempuran kecil sesekali berlanjut hingga akhir perang dengan banyaknya pasukan Jepang menjadi korban jiwa akibat penyakit dan kelaparan.
Perkembangan Morotai menjadi pangkalan Sekutu dimulai sesaat setelah pendaratan, dan dua lapangan terbang besar siap digunakan pada Oktober. Fasilitas ini dan lainnya memainkan peran penting dalam pembebasan Filipina antara 1944 dan 1945. Perahu torpedo dan pesawat yang berberbasis di Morotai juga mengusik keberadaan Jepang di Hindia Belanda. Fasilitas pangkalan pulau tersebut dikembangkan lebih jauh pada 1945 untuk menyokong Kampanye Kalimantan yang dipimpin Australia, dan Morotai kembali menjadi pusat komando dan logistik penting hingga Belanda membangun kembali kekuasaan mereka di Hindia Belanda.
Latar belakang
suntingMorotai adalah pulau kecil terletak di gugusan Halmahera, Kepulauan Maluku, timur Indonesia. Sebagian besar pedalaman pulau itu dipenuhi hutan belantara. Dataran Doroeba di barat daya Morotai adalah kawasan dataran rendah terluas di pulau itu. Sebelum perang pecah, populasi Morotai berjumlah 9.000 dan pulau itu belum dikembangkan secara komersial. Pulau ini menjadi bagian dari Hindia Belanda dan diperintah oleh Belanda melalui Kesultanan Ternate. Jepang menguasai Morotai di awal 1942 selama Kampanye Hindia Belanda tetapi tidak membuat garis pertahanan atau mengembangkannya.[2]
Pada awal 1944, Morotai menjadi kawasan penting bagi militer Jepang ketika mereka mulai mengembangkan pulau sebelah yang lebih besar, Halmahera, sebagai titik pusat untuk pertahanan pendekatan melalui selatan ke Filipina.[3] Pada Mei 1944, Divisi 32 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tiba di Halmahera untuk mempertahankan pulau itu dan sembilan landasannya.[3] Divisi ini menderita kekalahan telak ketika konvoi yang membawa divisi ini dari Cina (Konvoi Take Ichi) diserang kapal selam Amerika Serikat.[4] Dua batalyon dari Resimen Infantri 211 Divisi 32 awalnya diterjunkan ke Morotai untuk mengembangkan landasan di Dataran Doroeba. Namun, kedua batalyon ini menarik diri ke Halmahera pertengahan Juli ketika landasan tersebut ditinggalkan karena masalah drainase.[5] Pemecah kode Sekutu mendeteksi pertahanan Jepang di Halmahera dan Morotai lemah, lalu memberikan informasi ini ke staf perencanaan terkait.[6]
Pada Juli 1944, Jenderal Douglas MacArthur, panglima Kawasan Pasifik Barat Daya, memilih Morotai sebagai lokasi pangkalan udara dan fasilitas angkatan laut untuk menyokong pembebasan Mindanao di Filipina, yang pada saat itu direncanakan pada 15 November. Sementara Morotai masih terbelakang, pulau itu lebih disukai dibanding Halmahera yang merupakan pulau lebih besar dan lebih baik dalam hal pertahanan karena dianggap yang terakhir ini terlalu sulit untuk direbut dan diamankan.[7] Pendudukan Morotai dinamakan Operasi Tradewind. Pendaratan dijawdalkan pada 15 September 1944, hari yang sama dengan pendaratan Divisi Marinir 1 di Peleliu. Jadwal ini membuat main body Armada Pasifik Amerika Serikat dapat melindungi secara bersamaan kedua operasi dari kemungkinan serangan balik Jepang.[8]
Dengan diperkirakannya ada perlawanan kecil di Morotai, perencana Sekutu memutuskan untuk mendaratkan pasukan invasi dekat dengan lokasi lapangan terbang di Dataran Doroeba. Dua pantai di pesisir barat daya pulau itu dipilih sebagai lokasi pendaratan yang cocok dan dinamakan Pantai Merah dan Pantai Putih. Rencana Sekutu menugaskan semua tiga resimen infantri Divisi 31 untuk didaratkan menyeberangi bantai itu pada 15 September dan masuk ke pedalaman dengan cepat untuk mengamankan dataran itu. Karena pedalaman Morotai tidak memiliki nilai militer, Sekutu tidak bermaksud untuk masuk lebih jauh dari perimeter yang diperlukan untuk mempertahankan lapangan terbang.[9] Rencana untuk pembangunan lapangan terbang dan instalasi pangkalan lainnya dilakukan sebelum pendaratan, dan lokasi sementara untuk fasilitas-fasilitas ini telah ditentukan pada 15 September.[10]
Prelude
suntingKekuatan yang terlibat
suntingKetika Sekutu mendarat, Morotai dipertahankan kira-kira oleh 500 tentara Jepang. Unit utamanya adalah Provisional Raiding Unit ke-2 yang secara bertahap tiba di pulau itu antara 12-19 Juli 1944, untuk menggantikan batalyon Divisi ke-32 ketika mereka menarik diri. Provisional Raiding Unit ke-2 meliputi empat kompi dan terdiri dari perwira Jepang dan tentara Taiwan. Sedikit dari beberapa infantri lain, polisi militer, dan unit penunjang juga berada di pulau itu. Komandan Provisional Raiding Unit ke-2, Mayor Takenobu Kawashima, menerjunkan unit itu ke sektor barat daya pulau itu dan menggunakan unit yang lebih kecil untuk mendirikan pos jaga dan detasemen di sekitar garis pantai Morotai.[11] Pos jaga terbesar yang ada di pulau itu terletak di ujung timur laut Cape Sopi, terdiri dari sekitar 100 orang.[12] Pasukan Jepang terlalu kecil dan tersebar luas untuk dapat menyusun pertahanan efektif sehingga Divisi ke-32 memerintahkannya untuk membangun kamp tipuan dan menggunakan muslihat lain sebagai usaha untuk mengelabui Sekutu agar berpikir bahwa Morotai dipertahankan dengan kuat.[5]
Pasukan Sekutu ditugaskan ke Morotai melampaui jumlah pasukan bertahan di pulau itu lebih dari 100 banding 1. Gugus Tugas Tradewind dibentuk pada 20 Agustus di bawah komando Mayor Jenderal Charles P. Hall dan berisi 40.105 tentara Angkatan Darat AS, 16.915 personel pasukan udara, dan personel Angkatan Udara Australia (RAAF). Gugus Tugas Tradewind ini berada di bawah komando keseluruhan Angkatan Darat ke-6 AS dengan elemen tempur utama kantor pusat Korps XI, Divisi Infantri ke-31, dan Tim Kombat Resimen ke-126 dari Divisi Infantri ke-32. Unit-unit ini didukung para insinyur dan kelompok anti-pesawat besar. Gugus Tugas Tradewind juga memasukkan sejumlah besar unit konstruksi dan jalur komunikasi lain yang perannya adalah mengembangkan pulau itu sebagai pangkalan besar secara cepat. Divisi Infantri ke-6 ditugaskan sebagai pasukan cadangan tetapi tetap berada di daratan Nugini.[13] Jenderal MacArthur menemani gugus ini di atas kapal USS Nashville tetapi tidak berada di komando langsung atas operasi ini.[14]
Pasukan pendaratan didukung oleh pasukan udara dan laut yang kuat. Air Force ke-5 menyediakan dukungan langsung sementara Air Force ke-13 dan No. 10 RAAF Grup Operasional melakukan misi strategis di Hindia Belanda dan Filipina.[15] Angkatan laut dinamai Gugus Tugas 77 dan diatur menjadi dua kelompok serang, empat kelompok bala bantuan, satu kelompok dukungan, dan satu kelompok pembawa iringan. Kelompok serang dan bala bantuan bertanggung jawab untuk mengangkut pasukan penyerbu dan unit dukungan yang menyusul kemudian berisi dua puluh empat kapal perusak, empat pergat, dua LSI Australia, lima APD, satu LSD, dua puluh empat LCI, empat puluh lima LST, dua puluh LCT, dan sebelas LCI yang ditambah roket. Kelompok pendukung terdiri dari dua penjelajah berat Australia, tiga penjelajah ringan AS, dan masing-masing delapan dan dua kapal perusak AS dan Australia. Kelompok pembawa iringan berisi enam pembawa iringan dan sepuluh iringan perusak serta diberikan anti-kapal selam dan patroli udara tempur. Gugus Tugas 38.4 dengan dua armada pembawa pesawat, dua pembawa pesawat ringan, satu penjelajah berat, satu penjelajah ringan, dan tiga belas kapal perusak juga tersedia untuk mendukung Gugus Tugas 77 jika dibutuhkan.[16]
Serangan pendahuluan
suntingSerangan udara awal untuk menekan angkatan udara Jepang di sekitar Morotai dimulai pada Agustus 1944. Pada saat itu, layanan intelijen Sekutu memperkirakan bahwa ada 582 pesawat Jepang di 400 mil (640 km) sekitar Morotai, 400 di antaranya daerah tujuan. Angkatan udara Sekutu melakukan serangan besar-besaran pada lapangan terbang di kepulauan Halmahera, Sulawesi, Pulau Seram, Pulau Ambon, Buru, dan daerah lainnya. Kapal induk pembawa pesawat Angkatan Laut AS juga menyerang unit udara Jepang yang berpangkalan di Mindanao dan melakukan serangan lebih jauh di Halmahera dan Sulawesi. Serangan ini sukses, dan pada 14 September diperkirakan bahwa hanya 60 pesawat yang berada di sekitar Morotai.[17]
Untuk mempertahankan kejutan, Sekutu tidak mengebom Morotai sebelum invasi dan hanya melakukan pengintaian fotografis di atas pulau itu.[18] Patroli Biro Intelijen Sekutu telah mendarat di pulau itu pada Juni tetapi informasi yang dikumpulkan tidak sampai ke Pasukan ke-6. Meskipun Gugus Tugas Tradewind memiliki sedikit informasi atas pantai yang akan diinvasi dan posisi Jepang, Pasukan ke-6 tidak mendaratkan patroli pengintainya di Morotai karena takut bahwa hal ini dapat memperingatkan pasukan yang mempertahankan pulau itu bahwa serangan datang sebentar lagi.[19]
Gugus Tugas Tradewind memulai konvoi invasi pada beberapa pangkalan di barat daya Nugini, dan melakukan latihan pendaratan di Aitape dan Pulau Wakde pada awal September. Konvoi berkumpul di Teluk Maffin pada 11 September dan berangkat ke Morotai keesokan harinya. Perjalanannya lancar dan konvoi tiba di Morotai pagi hari pada 15 September tanpa bisa dideteksi pasukan Jepang.[20]
Pendaratan Sekutu
suntingPertempuran Morotai dimulai pada pukul 6:30 pagi 15 September. Kapal perang Sekutu melakukan pengeboman selama dua jam terhadap kawasan pendaratan untuk menekan keberadaan pasukan Jepang. Pengeboman ini membuat beberapa desa setempat terbakar, tetapi mengakibatkan sedikit korban dari pihak Jepang karena mereka tidak memiliki banyak pasukan di sana.[21]
Gelombang pertama pasukan Amerika mendarat di Morotai pada 8:30 dan tidak mendapati perlawanan. RCT ke-155 dan ke-167 mendarat di Pantai Merah sementara RCT ke-124 mendarat di Pantai Putih. Ketika mencapai pantai, pasukan penyerbu berkumpul dengan unit taktis mereka dan dengan cepat masuk ke pedalaman. Di penghujung hari, Divisi ke-31 telah mengamankan semua sasaran D-Day dan memiliki perimeter 2.000 yard (1.800 m) di pedalaman. Ada pertempuran kecil dan korban jiwa sangat rendah pada kedua pihak.[22] Provisional Raiding Unit ke-2 Jepang tidak mampu memberikan perlawanan kepada pasukan Sekutu yang melimpah, dan menarik diri ke pedalaman dengan tertib. Pesawat Divisi Udara ke-7 Jepang yang berbasis di Seram dan Sulawesi memulai rangkaian serangan udara malam pada Morotai pada 15 September, tetapi hanya memberikan sedikit pengaruh pada pasukan Sekutu.[23]
Kurangnya perlawanan merupakan keberuntungan Sekutu karena keadaan pantai yang, tak terduga, sangat buruk.[24] Intelijen sebelum penyerangan yang terbatas berpendapat bahwa pantai Merah dan Biru mampu mendukung pendaratan amfibi, sementara faktanya keduanya sangat tidak cocok untuk tujuan ini. Kedua pantai berlumpur dan menyulitkan kapal pendarat untuk mendekatinya disebabkan oleh ridge yang berbatu dan terumbu karang. Hasilnya, prajurit dan perlengkapan harus didaratkan melalui deep surf. Hal ini menunda operasi dan mengakibatkan sejumlah perlengkapan rusak.[25] Seperti kebanyakan prajuritnya, Jenderal MacArthur terpaksa menyeberang melalui chest-high surf ketika dia sampai di pantai.[26] Pagi hari di Hari-H, kelompok peninjau menentukan bahwa sebuah pantai di selatan Morotai jauh lebih balik untuk LST. Pantai ini, yang disebut Pantai Biru, menjadi titik pendaratan utama Sekutu sejak 16 September.[27]
Divisi ke-31 melanjutkan pergerakannya ke pedalaman pada 16 September. Divisi ini menemui perlawanan kecil dan mengamankan garis perimeter yang direncanakan di sekitar kawasan pangkalan udara pada siang hari.[28] Sejak 17 September, Resimen Infantri ke-126 mendarat pada beberapa titik di garis pantai Morotai dan pulau-pulau di lepas pantai untuk mendirikan stasiun radar dan pos observasi. Operasi ini secara umum tidak mendapat perlawanan, meskipun patroli yang mendarat di utara Morotai beberapa kali berhadapan dengan pasukan kecil Jepang.[28] Provisional Raiding Unit ke-2 mencoba untuk menyusup ke perimeter Sekutu pada malam 18 September tetapi tidak berhasil.[23]
Sebuah detasemen dari Netherlands Indies Civil Administration (NICA) bertanggung jawab untuk urusan sipil di Morotai. Detasemen ini mdetachment mendarat pada 15 September, dan membangun kembali kedaulatan Belanda atas penduduk sipil Morotai. Banyak penduduk lokal Many natives selanjutnya memberiikan NICA informasi atas disposisi Jepang di Morotai dan Halmahera serta penduduk lain bertindak sebagai pemandu untuk patroli Amerika.[29]
Pada 20 September, Divisi ke-31 masuk lebih jauh ke pedalaman untuk mengamankan perimeter yang diperluas. Ini diperlukan untuk memberikan ruang bagi bivouac tambahan dan memasok instalasi setelah markas Jenderal MacArthur memutuskan untuk memperluas konstruksi pangkalan udara di pulau itu. Pergerakan ini menemui perlawanan kecil dan selesai dalam satu hari.[28] Pada 22 September, satu pasukan Jepang menyerang pangkalan Batalyon ke-1 Resimen Infantri ke-167, tetapi dengan mudah dipatahkan. Hari berikutnya, satu kompi dari Resimen Infantri ke-126 gagal dalam serangan terhadap unit pertahanan Jepang yang diperkuat di dekat Wajaboeta di pantai barat pulau tersebut. Resimen ini melanjutkan serangan pada 24 September dan mengamankan posisi itu. Pasukan Amerika Serikat melanjutkan patroli intensif hingga 4 Oktober ketika pulau itu diumumkan aman.[30] Korban Amerika Serikat selama awal pendudukan sebesar 30 tewas, 85 terluka, dan 1 hilang. Korban Jepang jauh lebih tinggi, lebih dari 300 tewas dan 13 ditangkap.[31]
Pasukan darat Amerika tidak memerlukan dukungan udara yang tersedia untuk mereka, dan kelompok fast carrier dilepas untuk tugas lain pada 17 September. Sebanyak 6 escort carrier tetap tersedia, tetapi pesawat mereka hanya sedikit bertindak. Sebanyak 4 CVE dlepas pada 25 September, dan 2 sisanya berangkat pada 4 Oktober.[32] Destroyer escort USS Shelton (DE-407) ditenggelamkan oleh kapal selam Jepang RO-41 pada 3 Oktober ketika menemani kelompok CVE.[33][34] Beberapa jam kemudian sebuah TBF Avenger dari escort carrier USS Midway menyerang USS Seawolf (SS-197) 20 mil (32 km) di utara tempat Shelton diserang torpedo, dalam keyakinan yang sebenarnya salah bahwa dia adalah kapal selam yang melakukan penyerangan. Setelah menjatuhkan dua bom, TBF memandu USS Richard M. Rowell (DE-403) ke kawasan itu dan destroyer escort menenggelamkan Seawolf setelah lima kali percobaan, menewaskan semua kru kapal selam. Hal itu kemudian diketahui bahwa ketika Seawolf bergerak di sebuah "jalur aman kapal selam" yang telah ditentukan, pilot CVE tidak diberitahu sebelumnya akan keberadaan jalur itu dan lokasinya, serta bahwa posisi kapal selam tidak diberikan ke USS Richard M. Rowell.[35]
Angkatan Laut Amerika Serikat mendirikan sebuah pangkalan PT boat di Morotai pada 16 September ketika tender USS Mobjack (AGP-7) dan USS Oyster Bay (AGP-6) tiba dengan skuadron kapal motor torpedo 9, 10, 18, dan 33, serta 41 kapal mereka. Misi utama PT boat adalah untuk mencegah Jepang memindahkan pasukan dari Halmahera ke Morotai dengan mendirikan blokade terhadap selat antara dua pulau yang selebar 12-mil (19 km).[36]
Elemen Divisi ke-31 embark dari Morotai pada November untuk merebut beberapa pulau di sekitar Nugini yang dari pulau itu pos Jepang dapat mengawasi pergerakan Sekutu. Pada 15 November, 1.200 pasukan dari Batalyon ke-2, Resimen Infantri ke-167 dan unit terkait mendarat di Pulau Pegun di kepulauan Mapia; keesokan harinya, Pulau Bras diserang. Kepulauan Mapia dinyatakan aman pada 18 November setelah perlawanan dari 172 pasukan Jepang dari Divisi Infantri ke-36 diatasi. Pada 19 November, pasukan sebanyak 400 prajurit Amerika Serikat terdiri dari Kompi F, Resimen Infantri ke-124, menduduki Kepulauan Asia yang tidak dijaga.[37] Ini adalah operasi penyerangan pertama yang diawasi Tentara Amerika Serikat Kedelapan, dan komandan angkatan laut untuk kedua operasi adalah Kapten Lord Ashbourne dari Angkatan Laut Britania Raya yang bertugas di HMS Ariadne. Stasiun radar dan LORAN selanjutnya didirikan di pulau-pulau tersebut.[38]
Base develompent
suntingPerkembangan cepat Morotai menjadi pangkalan militer besar adalah tujuan utama operasi ini. Rencana pra-invasi meminta pembangunan tiga landasan besar kurang dari 45 hari terhitung 15 September, dengan landasan pertama beroperasi secepatnya setelah mendarat. Rencana ini juga termasuk fasilitas akomodasi dan pasokan untuk 60.000 pasukan udara dan darat, sebuah rumah sakit berkapasitas 1.900 tempat tidur, tempat penyimpanan bahan bakar dalam jumlah besar dan instalasi penanganan, serta fasilitas docking kapal.[39] Untuk membangun fasilitas ini, Gugus Tugas Tradewind memasukkan 7,000 pasukan layanan insinyur yang 84 persennya adalah warga Amerika, sisanya Australia.[10]
Pengerjaan dimulai di fasilitas pangkalan sebelum Morotai diamankan. Kelompok peninjau memulai survei transit terhadap lokasi pangkalan udara pada 16 September, yang diputuskan bahwa alignment mereka yang telah direncanakan tidak dapat dikerjakan.[10] Rencana untuk menyelesaikan pangkalan udara Jepang juga dibiarkan karena itu akan mengganggu pangkalan udara yang lebih besar yang akan dibangun di timurnya. Lokasi itu sebagai gantinya dibersihkan dan digunakan sebagai "landasan darurat". Pengerjaan pada landasan pertama (yang disebut Wama Drome) dimulai pada 23 September setelah lokasi dibersihkan. Setelah 4 Oktober, landasan Wama Drome dapat digunakan untuk 5.000 kaki (1.500 m) dan mendukung serangan heavy bomber di Balikpapan, Borneo. Konstruksi Pitu Drome yang lebih besar, yang akan memiliki dua landasan paralel terhadap Wama Drome, dimulai di akhir September dan sejak 17 Oktober landasan itu memiliki lintasan sepanjang 7.000-kaki (2.100 m) yang bisa digunakan.[40] Pengerjaan konstruksi dipercepat dari 18 Oktober setelah Armada Ketiga Amerika Serikat ditarik dari penyediaan dukungan langsung untuk pendaratan di Leyte yang telah direncanakan.[41] Ketika dua landasan selesai pada November, mereka boast tiga lintasan besar dan hardstanding untuk 253 pesawat, termasuk 174 heavy bomber.[42] Meskipun pembangunan pangkalan undara mengharuskan penghancuran terhadap desa sekitar, insinyur pangkalan udara Amerika dan Australia dibantu sejak 1 Oktober oleh sekitar 350 pekerja lokal yang direkrut detasemen NICA.[29]
Other base facilities were erected concurrently with the construction of the airstrips. Work on fuel storage facilities began shortly after the landing, and the first was ready on 20 September. A jetty for oil tankers and a larger tank farm were completed in early October, and storage facilities continued to be expanded until November, when capacity for 129.000 barel (20.500 m3) of fuel was available. Several docks capable of accommodating liberty ships were constructed on Morotai's west coast, and the first was completed on 8 October. In addition, twenty LST landings were constructed on Blue Beach to facilitate the loading and unloading of these ships. Other major construction projects included an extensive road network, a naval installation, 28.000 square feet (2.600 m2) of warehousing, and clearing land for supply dumps and bivouacs. A 1,000-bed hospital was also built after the original plans for a 1,900-bed facility were revised. The main difficulties encountered were overcoming the mud caused by unusually heavy rains and finding sufficient water supplies.[43]
A revision to Allied plans meant that Morotai played a much greater role in the liberation of the Philippines than had been originally envisioned. The invasion of Mindanao was postponed in September 1944 in favour of a landing at Leyte in the central Philippines in late October. The air bases at Morotai were the closest Allied air strips to Leyte, and fighters and bombers based on the island attacked _targets in the southern Philippines and NEI in support of the landing at Leyte on 25 October.[44] After airfields were completed at Leyte, Morotai was also used as a staging point for fighters and bombers traveling to the Philippines.[45]
Subsequent fighting
suntingJapanese response
suntingThe Japanese military recognized that its forces in the Philippines would be threatened if the Allies developed airfields on Morotai. In an attempt to disrupt the airfield construction program, the Japanese Army commanders on Halmahera sent large numbers of reinforcements to Morotai between late September and November. These troops included the main body of the 211th Infantry Regiment, the 3rd Battalion of the 210th Infantry Regiment and three raiding detachments.[23] The commander of the 211th Infantry Regiment, Colonel Kisou Ouchi, assumed command of the Japanese forces on Morotai on 12 October.[46] Allied codebreakers were often able to warn the forces at Morotai of attempts to run the blockade,[6] and PT boats destroyed a large number of the barges the Japanese used to transport troops from Halmahera. The Allies were, however, unable to completely stop the Japanese buildup.[47]
The Japanese counter-offensive on Morotai was not successful. The troops brought to the island suffered from high rates of disease and it proved impossible to bring sufficient supplies through the Allied air and naval blockade. As a result, while the 2nd Provisional Raiding Unit raided the US perimeter on several occasions, the reinforcements were unable to mount larger attacks and did not impede Allied airfield construction activities. The Japanese force subsequently withdrew into central Morotai where many soldiers died from disease or starvation.[48] The last Japanese supply barges from Halmahera reached Morotai on 12 May 1945.[49]
In late December 1944, the US 33rd Infantry Division's 136th Infantry Regiment was brought to Morotai from New Guinea to attack the Japanese 211th Infantry Regiment in the west of the island. After landing on the island's west coast, the American regiment moved into Japanese-held territory on 26 December and advanced on the Japanese position from the south-west and north. The 136th was supported by a battalion of the 130th Infantry Regiment advancing overland from the Doroeba Plain, artillery units stationed on islands off Morotai's coast and one hundred native porters.[50] The 3rd Battalion of the 167th Infantry Regiment also participated in this operation and made a difficult march from Morotai's south coast into the interior to prevent the Japanese from scattering into small groups in the island's mountains.[51]
In early January 1945, the American force determined that two battalions of the Japanese 211th Regiment were at Hill 40, about four miles (6 km) north of the Allied perimeter. The attack on this position began on 3 January 1945 when the 136th Infantry Regiment's 1st and 2nd battalions advanced from the south-west and encountered strong resistance. The regiment used a large quantity of ammunition in this attack, and aerial resupply was needed to replenish its supplies. Both American battalions resumed their attack the next day with the support of a highly effective artillery bombardment, and reached the main Japanese position in the afternoon. During this period the 3rd Battalion of the 136th Regiment advanced on Hill 40 from the north, and destroyed the 211th Regiment's 3rd Battalion in a series of battles. This Japanese battalion had been stationed on the coast to receive supplies from Halmahera and mounted several unsuccessful attacks on the American battalion's beachhead after it landed in December.[52]
The 136th Infantry Regiment completed its attack on Hill 40 on 5 January. The Regiment's 1st and 2nd Battalions advanced from the west and south-west and the 3rd Battalion from the north, meeting little resistance. The 1st and 2nd Battalions continued north to pursue Japanese remnants until 14 January, by which time the regiment claimed to have killed 870 Japanese soldiers and captured ten for a loss of 46 killed and 127 wounded and injured.[53] The 3rd Battalion, 167th Infantry Regiment linked up with the 136th on 7 January after overrunning the main Japanese radio station on the island on 4 January.[54] In mid-January, the 136th Regiment was withdrawn to the Allied perimeter where it rejoined the 33rd Division, which was staging through Morotai en route for the Allied landing in Luzon.[55]
Air attacks and Allied mopping up
suntingThe Japanese 7th Air Division continued to raid Morotai for months after the Allied landing. The air division conducted 82 raids on Morotai involving 179 sorties between 15 September 1944 and 1 February 1945. The aircraft used in these raids flew from Ceram and the Celebes and landed at airfields on Halmahera before proceeding to their _targets. While 54 of the raids caused no damage, the others resulted in the destruction of forty-two Allied aircraft and damage to another thirty-three. Allied casualties from air attack were 19 killed and 99 wounded. The most successful raid was conducted on the night of 22 November when 15 Allied planes were destroyed and eight damaged. The regular Japanese air raids ceased at the end of January 1945, though a final attack took place on 22 March. USAAF night fighters had only limited success as raiders were normally detected only shortly before they entered anti-aircraft gun defended zones; these guns shot down most of the 26 Japanese aircraft lost over Morotai.[56] The official history of the USAAF's night fighter force states that Morotai "was probably the most difficult task undertaken by American night fighters during World War II" due to the difficulty of detecting incoming raiders.[57]
The PT boat force at Morotai was reduced to a single squadron by February 1945 but remained active until the end of the war. As well as patrolling around Morotai, the boats operated in the eastern NEI to raid Japanese positions and support Australian and Dutch scouting parties. In May 1945 PT boats and the Australian Z Special Unit rescued the Sultan of Ternate along with his court and harem during an operation codenamed Project Opossum after he was mistreated by the Japanese.[58][59] By the end of the war the PT boats had conducted nearly 1,300 patrols and destroyed 50 barges and 150 small craft off Morotai and Halmahera.[60]
The 31st Division remained at Morotai until 12 April 1945 when it departed to participate in the liberation of Mindanao, and was replaced by the 93rd Infantry Division.[61] The 93rd Division was a segregated African American unit, and was mainly used for security and labor tasks during the war.[62] Once established on Morotai the division conducted intensive patrols with the aim of destroying the remaining Japanese force on the island. At this time most of the Japanese on Morotai were located along the island's west coast, and generally stayed close to native gardens. The 93rd Division landed patrols along Morotai's west and north coasts from April onwards, and these fought scattered skirmishes with small Japanese forces. One of the division's main goals was to capture Colonel Ouchi, and this was achieved by a patrol from the 25th Infantry Regiment on 2 August. Ouchi was one of the highest-ranked Japanese officers to be captured before the end of the war. The American force also used propaganda broadcasts and leaflets to encourage Japanese soldiers on Morotai to surrender, with some success.[63]
Aftermath
suntingMorotai remained an important Allied base after Leyte was secured. Aircraft of the Thirteenth Air Force and Australian First Tactical Air Force (formerly No. 10 Operational Group RAAF) were based at Morotai and attacked _targets in the NEI and southern Philippines until the end of the war. From April 1945, the island was also used by the Australian I Corps to mount the Borneo Campaign.[45] Australian Army engineers expanded the base facilities at Morotai to support this operation. Due to overcrowding, some Australian camp sites were located outside the American perimeter.[64]
Morotai was the scene of a number of surrender ceremonies following the surrender of Japan. About 660 Japanese troops on Morotai capitulated to Allied forces after 15 August.[65] The 93rd Division also accepted the surrender of the 40,000 Japanese troops at Halmahera on 26 August after the Japanese commander there was brought to Morotai on a US Navy PT boat.[49] On 9 September 1945, Australian General Thomas Blamey accepted the surrender of the Japanese Second Army at a ceremony held on the I Corps' sports ground at Morotai.[66] Private Teruo Nakamura, the last confirmed Japanese holdout on Morotai or elsewhere, was captured by Indonesian Air Force personnel on 18 December 1974.[67][68]
The facilities on Morotai continued to be heavily used by the Allies in the months after the war. The Australian force responsible for the occupation and military administration of the eastern NEI was headquartered at Morotai until April 1946, when the Dutch colonial government was reestablished.[69][70] The island was also one of the sites where the Australian and NEI militaries conducted war crimes trials of Japanese personnel.[71]
Notes
sunting- ^ 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), p. 73.
- ^ Smith (1953), pp. 456–457.
- ^ a b Smith (1953), p. 460.
- ^ Willoughby (1966), p. 273.
- ^ a b Willoughby (1966), pp. 348–349.
- ^ a b Drea (1992), p. 153.
- ^ Smith (1953), pp. 450–451.
- ^ Taafe (1998), p. 218.
- ^ Smith (1953), pp. 475–477.
- ^ a b c Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific (1951), p. 272.
- ^ Smith (1953), p. 460 and Willoughby (1966), pp. 349–350.
- ^ Rottman (2002), p. 253.
- ^ Krueger (1979), p. 126 and Smith (1953), p. 463.
- ^ Manchester (1978), p. 337.
- ^ Smith (1953), p. 464.
- ^ Morison (2002), pp. 21–22, Krueger (1979), p. 127 and Royal Navy Historical Section (1957), pp. 173 and 257.
- ^ Royal Navy Historical Section (1957), p. 175 and Taaffe (1998), p. 219.
- ^ Smith (1953), pp. 482–483.
- ^ Krueger (1979), p. 125.
- ^ Smith (1953), pp. 481–482.
- ^ Taafe (1998), p. 219.
- ^ Smith (1953), pp. 483 and 487.
- ^ a b c Willoughby (1966), p. 350.
- ^ Heavey (1947), p. 128
- ^ Smith (1953), pp. 483–485.
- ^ Manchester (1978), p. 388.
- ^ Smith (1953), p. 487.
- ^ a b c Smith (1953), p. 488.
- ^ a b Smith (1953), pp. 490–491.
- ^ Krueger (1979), p. 130.
- ^ Smith (1953), p. 489.
- ^ Craven and Cate (1953), pp. 312–314.
- ^ Royal Navy Historical Section (1957), pp. 175–176.
- ^ "Shelton". Dictionary of American Naval Fighting Ships. US Navy. Diakses tanggal 5 February 2009.
- ^ Morrison (2002), pp. 27–28.
- ^ Bulkley (2003), p. 368.
- ^ Royal Navy Historical Section (1957), p. 176 and 31st Infantry Division (1993), pp. 23 and 101.
- ^ Smith (1953), p. 451.
- ^ Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific (1951), p. 270.
- ^ Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific (1951), pp. 276–277.
- ^ Craven and Cate (1953), p. 313.
- ^ Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific (1951), p. 277.
- ^ Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific (1951), pp. 277–280
- ^ Smith (1953), pp. 491–493.
- ^ a b Morison (2002), p. 25.
- ^ Lee (1966), p. 525 and 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), p. 73.
- ^ 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), p. 68.
- ^ Hayashi (1959), pp. 120–121 and Willoughby (1966), pp. 350–352.
- ^ a b Bulkley (2003), p. 442.
- ^ 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), pp. 68–77.
- ^ 31st Infantry Division (1993), p. 101.
- ^ 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), pp. 74–81
- ^ 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), pp. 80–83.
- ^ 31st Infantry Division (1993), p. 102.
- ^ 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), pp. 85–87.
- ^ Craven and Cate (1953), pp. 315–316.
- ^ McFarland (1998), p. 37
- ^ Morison (2002), pp. 28–29.
- ^ Allard, Tom; Murdoch, Lindsay (24 April 2010). "Diggers snatch sultan to safety". The Age. Diakses tanggal 30 December 2010.
- ^ Bulkley (2003), p. 373.
- ^ Stanton (1984), p. 111.
- ^ Bielakowski (2007), p. 19.
- ^ Lee (1966), pp. 525–527.
- ^ Stanley (1997), p. 48.
- ^ Lee (1966), p. 528.
- ^ Long (1963), p. 553.
- ^ "The Last Last Soldier?". Time. 13 January 1975. Diakses tanggal 1 September 2008.
- ^ Post et al. (2010), pp. 429–430
- ^ Hasluck (1970), pp. 602–607
- ^ Post et al. (2010), p. 29
- ^ Post et al. (2010), pp. 408–409
References
sunting- 31st Infantry Division (1993) [1946]. History of the 31st Infantry Division in the Pacific. The Divisional Series. Nashville: The Battery Press. ISBN 0-89839-190-3.
- 33rd Infantry Division Historical Committee (1948). The Golden Cross: A History of the 33d Infantry Division in World War II. Washington D.C.: Infantry Journal Press. ISBN 0-89839-302-7.
- Bielakowski, Alexander M. (2007). African American Troops in World War II. Botley: Osprey Publishing. ISBN 1-84603-072-2.
- Bulkley, Robert J. (2003). At Close Quarters. PT Boats in the United States Navy. Annapolis: Naval Institute Press. ISBN 1-59114-095-1.
- Craven, Wesley; Cate, James, ed. (1953). The Pacific: Matterhorn to Nagasaki. The Army Air Forces in World War II. Chicago: The University of Chicago Press.
- Department of the Navy Bureau of Yards and Docks (1947). Building the Navy's Bases in World War II. History of the Bureau of Yards and Docks and the Civil Engineer Corps 1940–1946. Volume I. Washington DC: United States Government Printing Office.
- Drea, Edward J. (1992). MacArthur's ULTRA. Codebreaking and the war against Japan, 1942–1945. Lawrence: University of Kansas Press. ISBN 0-7006-0504-5.
- Hasluck, Paul (1970). The Government and the People 1942–1945. Australia in the War of 1939–1945 Series 4 – Civil. Canberra: Australian War Memorial. ISBN 0-642-99367-X.
- Hayashi, Saburo (1959). Kogun: The Japanese Army in the Pacific War. Westport: Marine Corps Association. ISBN 0-313-20291-5.
- Heavey, William F. (1947). Down Ramp! The Story of the Army Amphibian Engineers. Washington D.C.: Infantry Journal Press.
- Krueger, Walter (1979) [1953]. From Down Under to Nippon. The Story of Sixth Army in World War II. Washington: Combat Forces Press. ISBN 0-89201-046-0.
- Lee, Ulysses (1966). The Employment of Negro Troops. United States Army in World War II. Washington CD: Center of Military History.
- Long, Gavin (1963). The Final Campaigns. Australia in the War of 1939–1945. Series 1 – Army. Canberra: Australian War Memorial.
- Morison, Samuel Eliot (2002) [1958]. Leyte. History of United States Naval Operations in World War II Vol. 12. Champaign: University of Illinois Press. ISBN 0-252-07063-1.
- MacArthur, Douglas (1966). The Campaigns of MacArthur in the Pacific. Reports of General MacArthur. Washington DC: United States Army Center of Military History.
- McFarland, Stephen L (1998). Conquering the Night. Army Air Forces Night Fighters at War. The U.S. Army Air Forces in World War II. Air Force History and Museums Program.
- Manchester, William (1978). American Caesar. Douglas MacArthur 1880–1964. London: Hutchinson. ISBN 0-09-920780-X.
- Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific (1951). Airfield and Base Development. Engineers of the Southwest Pacific 1941–1945; v. 6. Washington DC: US Government Print. Office.
- Post, Peter; et al., ed. (2010). The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War. Handbook of Oriental Studies. Section 3, Southeast Asia; Volume 19. Leiden & Boston: Brill. ISBN 978-90-04-16866-4.
- Rottman, Gordon L. (2002). World War II Pacific Island Guide. A Geo-Military Study. Westport: Greenwood Press. ISBN 0-313-31395-4.
- Royal Navy Historical Section (1957). War with Japan Volume IV. The South-East Asian Operations and Central Pacific Advance. London: Royal Navy.
- Smith, Robert Ross (1953). The Approach to the Philippines. United States Army in World War II: The War in the Pacific. Washington DC: United States Army Center of Military History.
- Stanley, Peter (1997). Tarakan. An Australian Tragedy. Sydney: Allen & Unwin. ISBN 1-86448-278-8.
- Stanton, Shelby L. (1984). Order of Battle, U.S. Army, World War II. Novato: Presidio. ISBN 0-89141-195-X.
- Taafe, Stephen R. (1998). MacArthur's Jungle War. The 1944 New Guinea Campaign. Lawrence: University Press of Kansas. ISBN 0-7006-0870-2.
- Willoughby, Charles A. (editor in chief) (1966). Japanese Operations in the Southwest Pacific Area Volume II – Part I. Reports of General MacArthur. Washington DC: United States Government Printing Office.