Kritikan sastera
Kritikan sastera (Literary criticism, literary studies) ialah kajian, penilaian serta penafsiran sastera secara logika. Ia sering dipengaruhi teori sastera, yakni suatu analisis falsafah bagi matlamat dan kaedah gaya penyampaian kesusasteraan yang sedia ada pada karya sastera yang dikaji.
Sejarah
suntingKritik berasal dari kata Yunani: κριτεσ, rumi: krites - "hakim".[1] daripada kata kerja κρίνειν-krinein yang bererti "menghakimi [sesuatu]".[1] Selanjutnya muncul kata κρητικος-kritikos yang artinya hakim karya sastera.[1]
Pada zaman Barat awal
suntingPengulasan sastera pertama kali di dunia dilakukan dua orang Yunani, iaitu Xenophanes dan Heraclitus sekitar tahun 500 SM.[1] Xenophanes dan Heraclitus mengecam keras seorang pujangga besar bernama Homeros yang sering bercerita tentang hal-hal yang tidak senonoh tentang dewa-dewi.[1] Hal inilah yang mengawali pemikiran Plato tentang "pertentangan purba antara puisi dan falsafah.[1] Pada tahun 405 SM Aristophanes secara lebih terbuka mengkritik Euripides yang begitu menjunjung nilai seni tanpa memperhatikan nilai sosial.[1] Aristoteles kemudiannya menulis mengenai kritikan sastera yang mula menemukan bentuk yang berjudul Poetica.[1] Pada masa ini, Plato memunculkan tiga titik penting mengenai baiknya sesuatu karya sastera: memberikan ajaran moral yang lebih tinggi; memberikan kenikmatan; dan memberikan ketepatan dalam bentuk pengungkapannya.[1]
Pada Zaman Pembaharuan
suntingPada abad pertengaha, perincian yang menjelasankan idea kritikan cepat menghilang sama sekali.[1] Hanya pada tahun 1492 baru Polizianus menggunakan istilah criticus dan grammaticus tanpa pembezaan.[1] Grammaticus artinya adalah ahli pikir sama dengan philosophicus.[1] Dengan demikian terjadi persamaan arti antara criticus, grammaticus, dan philosophicus yang kesemuanya ditujukan bagi orang-orang yang mempelajari sastera pustaka lama.[1] Kaspar Schopp (1576-1649) mengatakan tujuan para kritikus adalah menganalisis kesalahan dan cacat demi perbaikan naskhah-naskhah karya pujangga kuno baik dalam bahasa Yunani mahupun Latin.[1]
Sementara itu, Erasmus menggunakan istilah seni kritikan (ars critica).[1] Buku yang dipandang menjadi sumber pengertian kritikan modern adalah Criticus karya Julius Caesar Scaliger (1484-1558).[1] Buku ini adalah jilid ke-6 dari rangkaian bukunya berjudul Poetica.[1] Scaliger melakukan analisis dan perbandingan antara pujangga-pujangga Yunani dan Latin.[1] Dengan munculnya teori kritikan modern disertai perkembangannya, para penyair mulai merasa terganggu kerana kegiatan kreatif mereka terganggu.[1]
Aspek utama
suntingFungsi
suntingKritikan sastera merupakan studi atau kajian bahan sastera yang secara langsung berhadapan dengan karya sastera dengan fokus utama penilaian.[2] Pengulasan atau pengkritikan karya sastera ada banyak tujuan dan fungsinya:[2]
- Mengembangkan ilmu sastera sendiri.[2] Kritik sastera dapat mengembangkan teori sastera dan sejarah sastera.[2]
- Mengembangkan kesusastraan.[2] Kritik sastera mengembangkan kesusastraan suatu bangsa dengan penilaiannya.[2]
- Memberikan masukan terhadap masyarakat umum.[2] Hasil analisis kritikan sastera dapat membantu masyarakat dalam memahami dan mengapresiasi suatu karya sastera.[2]
Teori pendekatan
suntingPengulasan sesebuah karya sastera boleh menerapkan pelbagai pendekatan:[3][4]
- Pendekatan stukturalis - tokoh-tokoh utama: Ferdinand de Saussure, Levi Strauss, Jonathan Culler.[4]
- Pendekatan pascastrukturalis - tokoh-tokoh utama: Roland Barthes, Jaques Lacan, Jaques Derrida.[4]
- Pendekatan Marxisme - tokoh-tokoh utama: Karl Marx, Louis Althusser, Georg Lukács, Walter Benjamin, Leon Trotsky, Theodor W. Adorno, Terry Eagleton, Frederic Jameson, Jürgen Habermas.[5]
- Pendekatan feminis - tokoh-tokoh utama: Simeone de Beauvoir, Michele Barrett, Kate Milett.[4]
Jenis kritikan
suntingPengkritikan sastera dapat dibezakan mengikut cara pendekatan pengulas terhadap karya sastera yang disasarkan:[6]
- Kritikan mimetik - bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastera adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.[6]
- Kritik pragmatik - melihat kegunaan suatu karya sastera.[6] Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan dan sebagainya.[6]
- Kritikan ekspresif - menekankan analisis pada kemampuan pengarang mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastera.[6] Biasanya pendekatan ini untuk mengkaji puisi.[6]
- Kritikan objektif - melihat karya sastera sebagai karya yang berdiri sendiri[6], yakni suatu objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.[6] (lihat juga: La mort de l'auteur)
Hubungan antara pengulasan dan pengetahuan sejarah karya
suntingKritik sastera dan sejarah sastera memiliki hubungan yang erat, maka tidak ada kritikan sastera tanpa sejarah sastera.[7] Akan tetapi, keduanya memiliki wilayahnya sendiri dalam dunia sastera dan memiliki perbezaan.[7] Sejarah sastera akan menjelaskan "A" berasal dari "B", sementara kritikan sastera menilai "A" lebih baik dari "B".[7] Sejarah sastera berdasarkan pembuktian data-data historis, sementara kritikan sastera berdasarkan pada pendapat dan keyakinan seorang kritikus sastera.[7]
Kaitan yang pasti antara sejarah sastera dan kritikan sastera adalah kritikan sastera yang baik akan menganalisis suatu karya sastera dengan melibatkan pemikiran dan sikap orang-orang dalam suatu zaman lahirnya sebuah karya sastera.[7] Hal ini penting kerana setiap zaman memiliki konsep dan pemikiran yang berbeza-beza.[7] Sementara itu, tidak ada sejarah sastera yang ditulis tanpa dasar penilaian dan seleksi yang menjadi ciri khas kritikan sastera.[7] Sejarah sastera berperan menghasilkan kritikan sastera yang melampaui penilaian atas dasar suka atau tidak suka.[7] Kritikus sastera yang sadar akan sejarah sastera mempunyai kemampuan untuk membezakan asli atau tidaknya sebuah karya sastera yang sedang dihadapi.[7]
Perkembangan lanjut
suntingDi alam bahasa Inggeris
suntingDi England sampai abad ke-15 pada zaman pemerintahan Ratu Elizabeth, istilah kritikan sastera sama sekali belum dikenal.[1] Francis Bacon dengan bukunya Advancement of Learning adalah orang pertama yang kemungkinan besar melopori konsep pengulasan teliti kepada pembacaan sastera Inggeris pada tahun 1605.[1] Tahun 1607 Ben Johnson menggunakan ungkapan "kritikus terpelajar dan berhati besar", yang tugasnya secara jujur menentukan nilai karya sastera dan pengarangnya.[1] Akan tetapi sampai tahun 1670-an belum muncul banyak kritikus-kritikus di Inggris.[1]
Pada abad-17 istilah critic dipakai untuk menunjuk kritikus sastera mahupun kritikan itu sendiri.[1] Kemudian muncul Samuel Johnson yang menggunakan istilah critick untuk kritikus dan critic untuk kritikan sastera, yang kemudian menjadi criticism.[1] Awal abad-18 menjadi saat meluasnya criticism atau kritikan sastera.[1] Era ini ditandai dengan kemunculan buku-buku seperti "The Grounds of Criticm Poetry", "Essay on Criticism" juga "The Art of Criticism".[1]
Di Alam Melayu / Nusantara
sunting- Di Indonesia
Kritik sastera, dari segi pengertian dan istilah bukan merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia.[1] Istilah dan pengertian kritikan sastera baru muncul ketika para sasterawan di Hindia Belanda mendapat pendidikan dengan sistem Eropah dibawa pihak Belanda pada awal abad ke-20.[1] Sebelum itu, penilaian karya-karya sastera dalam bahasa daerah didasarkan pada kepercayaan, agama, dan mistik.[1] Kapan pertama kali kritikan sastera dipergunakan di Indonesia tidak dapat diketahui dengan pasti.[1] Namun, kritikan sastera mulai mendapat perhatian di Indonesia setelah terbitnya kumpulan karangan "Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay" karya H.B. Jassin.[1]
Ada beberapa istilah kritikan sastera yang muncul di Indonesia dalam perkembangannya, yaitu kritikan sastera impresionistis, akademis, dan sekretaris.[8] Ketiga istilah tersebut muncul sebelum perang hingga tahun 1950-an.[8] Kritik sastera impresionistis tidak didasari pengetahuan ilmiah dan hadir sebagai pengetahuan elementer untuk pengajaran di sekolah menengah.[8] Barulah muncul kritikan sastera akademis pada tahun 1950-an yang dimulai oleh para kritikus kompeten secara ilmiah dari Universitas Indonesia.[8] Pada tahun 1960-an muncul aliran kritikan baru yang dipelopori oleh kalangan seniman dan pengarang sendiri.[8] Aliran ini memnggunakan pendekatan bercirikan pandangan yang sangat subjektif menurut kritikan dari pengarang sendiri.[8] Hal ini berbeza dengan aliran sebelumnya yang menggunakan pendekatan akademis yang kritis analitis mahupun strukturalis.[8] Aliran baru ini menggunakan pendekatan yang disebut Ganzeith-approach.[8] Seiring perkembangannya beberapa aliran kritikan ini menuai banyak perdebatan mengenai kelebihan dan kekurangan yang sulit menemukan penyelesaian.[8] Setiap aliran memiliki ciri khas masing-masing untuk melakukan pendekatan.[8]
- Di Malaysia
Tokoh-tokoh utama di Nusantara
sunting- Indonesia[6]
- Malaysia
- Singapura
Rujukan
sunting- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Andre Hardjana (1981). Kritik Sastra, Sebuah Pengantar (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gramedia. m/s. 1-6.
- ^ a b c d e f g h Rachmat Djoko Pradopo (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. m/s. 93. ISBN 979-8581-15-6.
- ^ Peter Batty (2010). Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra. ISBN 978-602-8252-31-7.
- ^ a b c d Raman Selden (1985). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. m/s. 53-159. ISBN 979-420-207-X.
- ^ "Purdue OWL: Literary Theory and Schools of Criticism". owl.english.purdue.edu (dalam bahasa Inggeris). Dicapai pada 2018-04-15.
- ^ a b c d e f g h i Atar Semi (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. m/s. 11-14. ISBN 979-404-457-1.
- ^ a b c d e f g h i Rene Wellek dan Austin Warren (2013). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. m/s. 36-41. ISBN 978-602-03-0126-6.
- ^ a b c d e f g h i j H.B. Jassin (1983). Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia. m/s. 30-31.