Max Havelaar adalah cerita fiksi yang terasa nyata. Kisah ini sendiri didasarkan atas apa yang dialami oleh Douwes Dekker saat menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda 18 tahun lamanya. Membaca kisah ini akan segera sadar apa sebenarnya politik divide et impera yang diterapkan Belanda.
Pemerintah Kerajaan Belanda sadar atas apa yang mereka lakukan selama ini di Hindia Belanda. Rakyat pribumi yang mereka paksa bertanam kopi dan teh tak ubahnya mesin bagi mereka. Kondisi diperburuk dengan banyaknya masyarakat Hindia Belanda yang belajar sifat makelar lewat instingnya mempertahankan hidup. Ada yang hidup nyaman dengan menjadi makelar budak untuk Belanda, tapi ada yang hidup mengabdikan diri bekerja selamanya untuk mereka agar keluarganya tidak dihancurkan. Semua yang mengubah tatanan itu dianggap merusak keseimbangan yang terjadi di Hindia Belanda dan Douwes Dekker adalah salah sedikit di antaranya.
Douwes Dekker lewat sudut pandang Stern dan Drogstoppel menunjukkan kisahnya di masa yang berbeda. Stern menceritakan dirinya saat menjadi asisten residen sementara Drogstoppel yang terus-terusan memanggilnya Sjaalman bercerita saat dia hidup miskin di Belanda. Namun lewat sudut pandang Multatuli, Douwes Dekker terus memastikan ceritanya akan terus dibaca dan menjadi usahanya menghentikan ketidakadilan walaupun dia sendiri terbelenggu dalam sikap white man's washing complex yang selalu menyerang warga kolonial yang hendak membebaskan masyarakat jajahan dari pemerintahan negaranya sendiri.
Cerita ini menjemukan bagi rakyat Indonesia, karena mengingat masa lalu tidak pernah mudah. Cerita ini berakhir dengan tragis karena pahlawan kita harus gugur sebelum berperang. Namun cerita ini telah dibaca dan akan terus dibaca.
( )

Max Havelaar adalah cerita fiksi yang terasa nyata. Kisah ini sendiri didasarkan atas apa yang dialami oleh Douwes Dekker saat menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda 18 tahun lamanya. Membaca kisah ini akan segera sadar apa sebenarnya politik divide et impera yang diterapkan Belanda.
Pemerintah Kerajaan Belanda sadar atas apa yang mereka lakukan selama ini di Hindia Belanda. Rakyat pribumi yang mereka paksa bertanam kopi dan teh tak ubahnya mesin bagi mereka. Kondisi diperburuk dengan banyaknya masyarakat Hindia Belanda yang belajar sifat makelar lewat instingnya mempertahankan hidup. Ada yang hidup nyaman dengan menjadi makelar budak untuk Belanda, tapi ada yang hidup mengabdikan diri bekerja selamanya untuk mereka agar keluarganya tidak dihancurkan. Semua yang mengubah tatanan itu dianggap merusak keseimbangan yang terjadi di Hindia Belanda dan Douwes Dekker adalah salah sedikit di antaranya.
Douwes Dekker lewat sudut pandang Stern dan Drogstoppel menunjukkan kisahnya di masa yang berbeda. Stern menceritakan dirinya saat menjadi asisten residen sementara Drogstoppel yang terus-terusan memanggilnya Sjaalman bercerita saat dia hidup miskin di Belanda. Namun lewat sudut pandang Multatuli, Douwes Dekker terus memastikan ceritanya akan terus dibaca dan menjadi usahanya menghentikan ketidakadilan walaupun dia sendiri terbelenggu dalam sikap white man's washing complex yang selalu menyerang warga kolonial yang hendak membebaskan masyarakat jajahan dari pemerintahan negaranya sendiri.
Cerita ini menjemukan bagi rakyat Indonesia, karena mengingat masa lalu tidak pernah mudah. Cerita ini berakhir dengan tragis karena pahlawan kita harus gugur sebelum berperang. Namun cerita ini telah dibaca dan akan terus dibaca.
( )

Karakter Tuan Droogstoppel sangat menyebalkan.

Dari novel ini aku tidak melihat penjelasan kekejaman Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda, yang diceritakan hanyalah tentang pembesar2 pribumi yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Dan mengetahui semua yang mereka lakukan pejabat Belanda memutuskan untuk mendiamkan hal ini demi kepentingan mereka sendiri.
Perjuangan karakter Max Havelaar membela rakyat Lebak dari penindasan pemimpinnya patut diacungi jempol. Karena dia berani menentang Residen Banten yang merupakan atasannya dan menjalani hidup dengan ancaman diracun.



Sebenarnya gak mengerti bagaimana novel ini dikatakan mengubah begitu banyak hal. ( )

Max Havelaar, subtitled The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, is the famous book that shamed the Dutch government into reforming the system of forced cultivation imposed on its colonial possessions in the Dutch East Indies. Indirectly, it also led to Indonesian independence in 1945, because the reforms also included educational opportunities—leading to the development of an Indonesian elite, a national language and anti-colonial ambitions. The only other book that I know that had a similar impact is Noli Me Tangere (Touch Me Not) by José Rizal, translated by Harold Augenbraum, a novel which forged the independence movement in the Philippines. Pramoedya Ananta Toer, who wrote the Introduction to my edition, called Max Havelaar 'earthshaking' and (according to Wikipedia) 'the book that killed colonialism.'

Multituli is Latin for 'I have suffered greatly' and it is the pen name of Eduard Douwes Dekker (1920-1887). While this book purports to be a work of fiction and much of it is, it is also an autobiographical account derived from Dekker's experiences in the Dutch East Indies, from which he returned ignominiously after 17 years in the colonial service. His attempts at reform of the atrocious treatment of the peasants had failed and on his return to the Netherlands he wrote this book to draw attention to the abuses he had tried to ameliorate. (Also, it must be said, the book is a justification for his actions and an attempt to salvage a reputation he did not deserve). Dekker's 'Comments and Clarifications' to the 1875 edition convey his frustration and anger over the lack of reform, but he was not to know the influence his book would ultimately have.

First published in 1860, first translated into English in 1868, not translated into Indonesian until 1972, and now in a new edition translated by Ina Rilke and David McKay for the NYRB, Max Havelaar is a much more lively book than I had expected it to be. It's structured as a book-within-a-book, framed by the fatuous observations of an Amsterdam coffee broker called Drystubble, (Batavus Droogstoppel), a name intended to arouse mockery. Self-important, self-aggrandising and fulsomely patronising, this hypocrite prides himself on outsmarting his rivals and graciously growing his business through the hard work of people poorer than himself. Into his hands comes a manuscript written by an author too poor to publish it. He begins to read it almost by accident, and then decides to steal it, to publish the bits useful to himself. He doesn't do the work of editing himself: he hires Ernest Stern, the son of his best customer, in order to forestall his custom going to a cheaper rival.

The story proper begins in Java with the arrival of the new Assistant Registrar in Lebak. Max Havelaar emerges from a gruelling carriage ride over terrible roads with his wife Tina and small son Max, to be welcomed by various members of the colonial bureaucracy and their spineless Javanese collaborators from the aristocracy. In a satirical tone the narrator explains beforehand how the colony is administered, making it clear that the entire system is designed to maximise profits from exports to the Netherlands, and that it causes extensive famines throughout the fertile lands of Java. And, perhaps worst of all, by buying off the aristocrats, the system also ensures corruption to enable a luxurious lifestyle for the Adipati and his Dutch overlords while stifling any complaints or attempts to ameliorate the suffering of the peasants. (This is why Pramoedya Ananta Toer is so scathing about the Javanese aristocracy in his Buru Quartet).

To read the rest of my review please visit https://anzlitlovers.com/2019/09/28/max-havelaar-by-multatuli-translated-by-ina-... ( )

Fascinating book - the fictionalised story of a Dutch colonial functionary in Indonesia in the 1850s. The functionary tries to raise abuse of the ordinary people by their traditional leaders/rulers who operate under the knowing blind eye of the colonial administrators. The book is written in quite a quirky style, which hasn't aged well, but the story, and the message, still shines through.
This is effectively an early example of a whistle blower. And, according to Wikipedia, the novel raised quite a storm, and changes were made in colonial administration as a result. ( )